Team Battle Week 7 – Songfic

Hey guys, buat team battle kita kali ini, kita pake tema Songfic yuuk~

Buat yang belom tahu, songfic itu adalah cerita yang terinspirasi dari/berdasarkan lirik lagu. Liriknya bisa dari judul lagu, atau keseluruhan atau hanya sebaris doang. Bisa juga ceritanya dibuat dari kesan setelah mendengar sebuah lagu, atau memakai suatu lagu sebagai latar / theme song nya. Jadi ngga mesti dari lirik, bisa aja liriknya sedih tapi cerita kamu bahagia karena nada lagunya hepi xD

Buat yang bikin gambar, juga bisa kok. Gambar dari suatu lirik atau judul lagu, atau setelah kamu denger lagu ini kok kamu pengen gambar itu ya.. nah kira2 seperti itu yee…

Kamu juga boleh kasih story bazooka atau art blaster berdasar lagu gertentu. Kasih link nya, suruh orang dengerin, terus suruh bikin cerita/gambar deh hehe.. suruh dengerin lagu indonesia raya juga boleh xD

Team Alpha

Kapten: Amanda

Pasukan: Cantika, Ayska, Dira, Sarah

Tim Bravo

Kapten: Khalisa

Pasukan: Namira, Angga, Aila, Binar

Good luck n have fun!

Advertisement

[CLOSED] Team Battle – Story Bazooka untuk Kedua Tim

Kata kunci:
Karakter Dunia Lain-mu itu sedang bermain di pantai. Tiba-tiba dia melihat temanmu di laut dikejar seekor hiu! Sedangkan temanmu satu lagi di pantai tak sengaja menginjak ular laut yang sedang menepi dan tergigit!

Buat keputusan cepat siapakah yang akan karaktermu itu selamatkan lebih dulu? Bagaimana cara keduanya bisa selamat?

Tipe: Menulis
Poin: 100 poin per anggota yang menjawab (boleh dari Tim Bravo maupun Tim Alpha)

Batas waktu:
Minggu 11 Agustus 2019, pukul 3:00:00 (siang)

Ganbatte, everyone~ (◍•ᴗ•◍)❤
*Alpha Team’s Patrol Officer*

Tugas 6-Aila

Jenis tema cerita:Hobi dan kebaikan.

Petunjuk gambar:Ungu dan kerajinan tangan.

Petunjuk cerita:Kerajinan tangan.

Judul cerita:Friendship Bracelets.

Penulis buku:Aila Dinara.

Sampul depan:20190805_221702_0000

Sampul belakang:1565084189838

Punggung buku:20190806_104125_0000

Cerita:

FRIENSHIP BRACELETS.
I ate the warm toast and sipped the fresh juice.Today was Friday.I remembered that it was Monday,then it goes to Tuesday,and so on.Days go so unexpectedly fast,I thought.Last night I remembered that Mom and Dad were arguing a lot.I didn’t have a very good sleep that night because of them.When I walked upstairs to my room,Mom was waiting for me at my room’s door(For some reason!).
“You ate breakfast dear?”she asked.
“Yes Mom,”I smiled,”Wait,why are you waiting here?”Mom started to frown a bit.
“Fatima,me and your father decided to move houses,”Mom frowned.
“What,all of us!?”I panicked.
“Yes darling.I’m EVER so sorry tgat we have to move,”
“But why Mom?Our house here is good enough!”
“What do you mean Fatima!”demanded Mom,”Our house is too small,”
“Oh,that’s why,”I said,”Sorry to make you cross Mom,”
“It’s OK darling.I understand that this is becoming hard for you,but this is for the best,”Mom hugged me.Mom told me that we are moving to Colorado.

What will I tell Wendy,Mia and Candy now? I thought,as I passed the school gates.I already saw them all playing cheerfully near the slide.I can’t let them down,I thought,But,I am gonna let them down too.I walked towards my best friends while frowning.
“Assalamualaikum Fatima!”greeted Mia joyfully.
“Wa’alaikum salam friends,”I sighed un-joyfully.
“Why are you looking so blue Fatima?”Candy asked me.
“I want to tell you guys something…”I hesitated.
“C’mon,say it then!”everyone demanded.
“I am…moving houses,”
“WHY?”cried Mia,Wendy and Candy.I explained my best friends why I’m moving.All of them became sad.
“We’ll miss you so much!”frowned Candy.
“I’ll miss all of you too,”I say sadly.Then,a WONDERFUL IDEA popped into my head!
“Hey guys!What about if I make something for yous to remember me forever?”I smiled.
“You’d do that for us?”grumbled Wendy.
“Of course! I love you guys,”I laughed cos Wendy asked a silly question,”Wait,I love yous as FRIENDS,not in the ‘love love’ way,” I added.
“What do you want me to make?”
“ANYTHING,FATIMA,ANYTHING!”
everyone chirruped.
“We trust you that you’ll give us something good,’cos you’re the BEST crafter in the WHOLE CLASS!”Mia informed me.
“Oh thanks.I’ll make the prize a surprise,OK?”I say,as Mia,Wendy and Candy nodded.

AT HOME…
I grabbed all of my knitting things and started to knit.Knitting is my absolute FAVOURITE HOBBY.I love it.I knit,probably three times a day on school days,but on weekends and Fridays I knit FIVE times a day.I decided to make four friendship bracelets(one for me and one for Mia and one for Wendy and another one for Candy).

In about two hours I finished making the bracelets!They look SO FANTASTIC!Insya Allah Mia,Candy and Wendy’ll love it as much as I do!

ON MONDAY…
Oh no! I thought miserably,It’s four more days until I move to Colorado.I never really wanted to move houses,but I know that this is for the very best.Right now I AM getting a bit bored of this house,since I lived in it all my life.I wonder what my new house’ll look like!Mom and Dad showed me a photo of my new room.It looked so BIG! It has its own toilet and there’s a pink spinny-chair-thingy that I love!The room has its own big desk and big cupboard too.I think that so far my new house is great! I stared outside the car’s window and I saw the beautiful trees and loads of people barging through to get to the famous theatre at my city.This is gonna be one of my LAST stares in this city.I’ve GOT to make it last.

Finally,I arrived at school.I was the late one out of my besties group(as usual).They were smiling at me so widely,then all of a sudden,they hugged me.
“WOAH,WHOA,WHOA!”I gasped.
“Sorry Fatima,”apolagised Mia.
“We just want to do loads of hugs before you leave,”explained Wendy.
“What she said,”Candy pointed at Wendy.
“You guys!”I giggled,hugging them tightly back.
“Oh yeah!Here yous go!”I say,as I took four pretty homemade friendship bracelets.
“Aw Fatima!”Mia stared in awe,looking at her bracelet.
“It’s so PRETTY!”exclaimed Wendy.
“I love it so much!”smiled Candy.
“Thank you for making them Fatima,you’re the best!”all of them appreciated.
“That’s OK,”I laughed,”I’m super glad you all love it.Remember,always remember each other!”I reminded them.
“Will do Fatima!”.

ON FRIDAY(moving day).
“Bye bye Candy,Wendy and Mia,”I waved to them all,heading towards my car with my head down.
“Hey Fatima!”demanded Wendy,”We DO have somethings for you!”I turned my head and walked towards my besties.
“Here is the present from me,”Candy said,handing me a big long box wrapped with wrapping paper.Next,Wendy handed me a round box,also covered in neat wrapping paper.Mia handed me a bag,it was quite a full one.
“Thank you SO MUCH for these guys!”I cried,hugging Mia,Candy and Wendy.
“It’s OK.After all,you’re our friend,”informed Wendy;Mia and Candy nodded.
“Soo…Bye for now,I guess,”I sighed,as a tiny tear went down to my neck.
“Bye Fatima!”
“Take care!”
“Good luck!”.Slowly,I went to the car and waved a big wave to my best friends,Mia,Candy and Wendy.They all waved back.The car set off.I took a glimpse of my best friends trying to catch up with me.I laughed inside the car,as I remembered the lovely old times I had with my friends.I decided to continue my hobby-knitting.Because knitting ALWAYS comes useful.And now,my besties’ll alqays remember me because of that bracelet.
=====>THE END<=====

[CLOSED] Team Battle – Challenge Week 6 – Dunia Lain

TEMA

Dunia Lain

SETTING

Tidak ada yang menyangka karya wisata kami akan berakhir seperti ini.

Seharusnya kami hanya berangkat bareng di pagi yang cerah, bercanda dan bernyanyi di bis seperti anak-anak normal lainnya. Setelah itu sampai di lokasi wisata, jalan-jalan dan ikut permainan bersama teman-teman. Makan siang, seru-seruan edisi selanjutnya, lalu pulang.

Tapi ternyata itu tidak terjadi. Setelah makan kami terpisah dari rombongan. Entah bagaimana kami tersesat. Tidak tahu di mana, sudah tidak ada orang. Lalu sesuatu yang berpendar menarik perhatian. Seperti ngengat yang melihat cahaya, kami segera memeriksa. Itulah kesalahan kami. Awal dari semua ini. Sayangnya penyesalan memang datang belakangan.

Saat benda itu disentuh, kami terisap dalam sebuah pusaran kencang. Melewati sebuah portal yang membawa kami ke dunia lain.

TUGASMU DI TEAM BATTLE KALI INI

Kali ini kita akan bermain Team Battle dengan sebuah tema ya teman-teman. Kalau kemarin kita sudah membuat cerita dengan setting Distopia, kali ini kita membuat cerita dengan setting Dunia Lain. Dunia apa itu? Kamulah yang menentukan hehehe…

Apakah tokohmu akan terdampar di pesawat luar angkasa yang sedang mendarat di planet lain? Atau tiba-tiba berubah menjadi putri duyung di kerajaan bawah laut? Atau dunia masa depan, di mana robot dan mobil terbang berkeliaran? Atau masuk ke dunia film yang pernah kamu tonton? Atau terjebak di dunia Minecraft? Atau muncul sebagai kesatria yang harus melawan naga? Atau malah terlempar ke zaman dinosaurus? Atau ke dunia di balik cermin, di mana semuanya terbalik? Atau dunia yang mirip dengan dunia sekarang, tapi semua orang dewasa sudah menghilang?

Nah, kamu yang akan membuat sendiri setting dunianya. Silahkan memberikan tantangan pada teman lainnya, namun mereka menjawab dengan dunia masing-masing.

Contoh: Aila memberi tantangan: buatlah cerita ketika tokohmu dikejar buaya. Nah, karena Amanda membuat cerita dengan setting dunia Indonesia di masa penjajahan Belanda, jadi nanti Amanda membuat cerita tokohnya dikejar buaya dengan setting masa lalu (misal mereka mau mandi di sungai, lalu tiba-tiba muncul buaya). Kira-kira seperti itu ya 🙂

Bila ada yang kurang jelas silahkan ditanyakan ^^

POINTS

Sistem poin team battle masih sama dengan minggu lalu ya.

Confetti – 200 poin/peserta, waktu 7 hari

Art Blaster – 100 poin/peserta, waktu 3 hari, masing-masing peserta boleh memberi 1 serangan/minggu

Story Bazooka – 100 poin/peserta, waktu 3 hari, masing-masing peserta boleh memberi 1 serangan/minggu

Flash Attack – 200 poin/peserta, waktu 1 hari, hanya kapten yang dapat memberikan serangan, jatahnya 1 serangan/minggu

THE TEAMS

Tim Alpha

Kapten: Ayska @aghayska

Pasukan:

Amanda @marsmellowmozara

Cantika @websitebelajarwebsitekodingdanlainlain

Dira @umminadira

Sarah @sarahtanujaya

Tim Bravo

Kapten: Angga @satriamanggala

Pasukan:

Khalisa @kshasie

Aila @luvkoala

Namira @umminadira

Binar @binaras

Tugas 5 – Khalisa

Tema Cerita : Olahraga

Petunjuk Cerita : Orang lagi lari (yang sebenarnya terinspirasi dari Jogging Track sih -_-)

Petunjuk Gambra : Sama kayak yang di atas

Nama Penulis : Khalisa NFS

Genre : Slice of Life

*spoiler* *lagi*

Cerita :

Runner

Keep running even though it rains

“Sel, yang jadi pelari andalan hari ini elo lagi lho!” ucap Ami—manajer klub pelari di sekolahku.

“Oh ya? Ehm, bener juga sih. Tadi pagi pas gue ngelawan anak-anak kelas A sama C, memang gue yang menang sih.” balasku. Aku kembali merapikan tas olahragaku.

“Giselle memang pelari andalan klub sih!” ucap Nada.

“Nanti pas akhir minggu lo sama anak-anak klub kita bakal retreat sama anak-anak dari sekolah Bina Bangsa.” Ami memperlihatkan agendanya.

“Eh, lo nggak salah? Anak-anak sekolah Bina Bangsa ‘kan, kebanyakan atlet lari!” pekikku kaget.

“Enggak apalah, kita ‘kan punya Giselle di kubu kita, nggak bakal kalah sama anak-anak Bina Bangsa!” Nada merangkul bahuku.

“Iya, kalian bakal tanding sama mereka.” Ami mengangguk.

“Wah, sudah jam segini! Gue pulang duluan ya!” ucapku saat melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 6 sore.

“Ya sudah, hati-hati di jalan ya Sel!!” ucap Ami dan Nada serempak.

Aku hanya mengangguk.

Sampul Depan :

Kakinya emang udah kepotong di gambar aslinya -_-

Ini memang dibikin semrawut, pengen coba gaya baru soalnya 😀

Gambarnya emang udah kepotong di tempat aslinya -_-

Cara aku ngebuat sampul *Note buat Tante Sari*

*Digambar di kertas

*Ditebelin pake pulpen gel

*Dihapus

*Proses Inking pakai DrawingPen Snowman

*Di scan

*Diedit pake komputer

*Masukin judul dan nama pake Paint 3D

*Setelah di save, baru diedit pake Filmora

*Masukin bumbu, habis itu diaduk *eh, maksudnya di snapshot*

*Di crop di komputer

*Terus di upload

Karya Team Battle – Project Ganecha: Kumpulan Cerita Distopia

Download PDF ceritanya di sini 😉

Atau download PDF yang sudah dilayout (siap cetak) ukuran A6 – v3 di sini 🙂

File Sampul:

Credits: @aghayska @marsmellowmozara @websitebelajarwebsitekodingdanlainlain @umminadira @luvkoala @kshasie @sarahtanujaya

Team Battle – Challenge Week 5

Assalamualaikum teman-teman!

Untuk minggu ini ada yang lain dari Team Battle kita~ kali iniii… kita akan tukar guling, eh tukar Jendral xD

Kapten Tim & Anggota

Tim Alpha

Kapten: Sarah @sarahtanujaya

Pasukan:

Namira @umminadira

Amanda @marsmellowmozara

Angga @satriamanggala

Dira @umminadira

Tim Bravo

Kapten: Aila @luvkoala

Pasukan:

Cantika @websitebelajarwebsitekodingdanlainlain

Khalisa @kshasie

Ayska @aghayska

Binar @binaras

Umar @seterahmaudipanggilapa

Jadwal Online – Silahkan atur dengan tim masing-masing kalau mau komunikasi di Discord.

Fun Quiz – Akan ada sesi Fun Quiz (chat & nulis+gambar bareng) di hari Minggu jam 19.45-20.45 WIB.

Any Questions? Tulis di sini 

Tugas 4-Khalisa

Tema Cerita : Cerita tentang Makanan

Petunjuk Cerita : Jus

Petunjuk Gambar : Jus juga 😀

Nama Penulisa : Khalisa NFS

Genre : Slice of Life *kayaknya*

Cerita (spoiler) :

Lemonade

Aku menatap mansion milik Ayah yang terdiri dari tiga lantai. Di halaman mansion terlihat beberapa pembantu sedang menyapu dedaunan kering. Aku melangkah masuk, dan beberapa satpam menyapaku.

Aku hanya balas menyapa mereka. Aku sudah lama tidak pulang ke sini, dan aku yakin kalau Ayah masih belum pulang. Beliau sangat sibuk dan sangat serius menggeluti pekerjaannya sebagai pemilik perusahaan sekuritas.

Aku meniti anak tangga dengan langkah yang terburu-buru karena aku ingin segera menjumpai orang itu. Sudah berapa lama aku meninggalkan rumah ini…? Ya, sudah sekitar dua tahun aku meninggalkan rumah ini…

Spoilernya cuma 3 paragraf..

Biarlah, lagi capek 😀 dan ngantuk -_-

Nanti dilanjutin lagi kok 😀

Sampul Depan :

Sampul Belakang :

Sampul Depan :

Sampul Belakang :

Sampul Depan :

Sampul Belakang :

Catatan : kalau diperbesar gambarnya pecah 😀

Sampul Depan :

Sampul Belakang :

Sampul Depan :

Sampul Belakang :

Team Battle – Challenge Week 4

Credits: https://wpmisc.com/wallpaper-512448

Assalamualaikum! Yo halo teman-teman!

Untuk minggu ini Team Battle kita ada sedikit perubahan. Silahkan disimak yaa 😀

Confetti – Waktunya 7×24 jam, bisa dijawab semua anggota tim/lebih dari satu, dapat 200 poin/anggota yang mengumpulkan. Bila tidak dikerjakan poin hangus.

Story Bazooka dan Art Blaster – Waktunya 3×24 jam, semua orang bisa menyerang, bisa dijawab semua orang (tim sendiri maupun lawan), bisa dijawab lebih dari satu orang dalam tim yang sama, dapat 100 poin/anggota yang mengumpulkan. Tema bebas, gak pake crossover, harus appropriate for kids. Story Bazooka boleh dijawab dengan Puisi. Bila tidak ditangkis oleh tim yang diserang, tim yang menyerang dapat 100 poin. Masing-masing anggota tim punya jatah 1 Story Bazooka dan 1 Art Blaster dalam minggu ini.

Flash Attack – Waktunya 1×24 jam, hanya kapten yang bisa menyerang, bisa dijawab semua orang (tim sendiri maupun lawan), bisa dijawab lebih dari satu orang dalam tim yang sama, dapat 200 poin/anggota yang mengumpulkan. Tema bebas, gak pake crossover, harus appropriate for kids. Bila tidak ditangkis oleh tim yang diserang, tim yang menyerang dapat 200 poin. Masing-masing kapten tim punya jatah 1 Flash Attack dalam minggu ini.

Kapten Tim & Anggota

Kaptennya gantian ya guys..

Tim Alpha

Kapten: Cantika @websitebelajarwebsitekodingdanlainlain

Pasukan:

Amanda @marsmellowmozara

Ayska @aghayska

Abi @abimanyurw

Jaihan @ummujaihan

Dira @umminadira

Sarah @sarahtanujaya

Tim Bravo

Kapten: Namira @umminadira

Pasukan:

Khalisa @kshasie

Angga @satriamanggala

Binar @binaras

Aila @luvkoala

Nada @ummujaihan

Umar @seterahmaudipanggilapa

Jadwal Online – Silahkan atur dengan tim masing-masing kalau mau komunikasi.

Writejam – Akan ada sesi Writejam (chat & nulis bareng) di hari Jum’at jam 14-15 WIB. Syarat: punya akun Discord (www.discordapp.com) dan Google Docs. Yang berminat komentar di bawah ya ^^

Any Questions? Tulis di sini 🙂

Tugas 3-Khalisa

Tema Cerita : Keluarga

Petunjuk Gambar : Anak Kembar

Petunjuk Cerita : Anak Kembar

Nama Penulis : Khalisa NF Shasie

Cerita :

Motherhood

Pembukaan :

  1. Topik pembicaraan anak sulung

Tokohnya Kak Ricky dkk ya…

Yang ngerasa jadi ortu, adek, kakak atau anak tengah jangan tersinggung ya…

Soalnya aku dapat cerita ini dari temen-temenku juga

Kak Ricky : Repotnya punya adek…

Author : Emang :v

Oswald : Memang repot kalau punya adek, tapi kita juga bisa nyuruh-nyuruh mereka *plak* *based on true story* Aku suka dijahilin adikku, trus kalau dilaporin ke ortu, pasti dibiarin. Giliran aku jahilin adikku dan dia ngelapor ke ortu, aku pasti dihukum *derita anak sulung*

Catatan : Kemaren waktu lagi nyari nama anak cewek Inggris, aku nemuin nama Oswald. Padahal kukira Oswald itu nama cowok ^3^. Tapi Oswald yang di sini cowok kok.

Eric : Biasanya kalau adikku yang salah, aku yang dimarahin *berdasarkan kisah teman :v* Masa ada orang yang menyatakan kalau anak sulung itu anak yang paling disayang, anak perjuangan.

Author : Orangnya yang nulis sok tau tuh.

Oswald : Memang sih, yang biasanya disayang itu cuma anak bungsu.

Author : Berarti Kakak nggak disayang ortu ^3^.

Oswald : -_-

Kak Ricky : Adekku bandel banget.

Author : Masa sih…Gitu-gitu kan Kakak juga suka ngandalin Ren *plak lagi*

Eric : Kita memang bisa manfaatin adek sih *smirk*

Oswald : Hm, setuju.

Author : Terus, kalau ada sesuatu yang menyenangkan kita pasti disuruh ngalah.

Oswald : Setuju

Kak Ricky : Tapi kan, sebagai anak sulung, hanya aku yang bisa mengendalikan perusahaan ^3^

Eric : Auth, jangan pakai emoji mengerikan itu dong.

Author : OK

Oswald : Enakan pas jadi anak tunggal -_- Soalnya, seluruh kekayaan keluarga cuma ngelimpah ke aku.

Author : Maksud Kakak apa?

Oswald : Ya waktu aku masih jadi anak tunggal, aku nggak perlu pinjem-pinjeman HP atau laptop sama adek *based on true story nya friend*.

Author : Iya juga sih, tapi…

Forum anak sulung : Kita sebagai anak sulung bisa manfaatin adek masing masing *plak* Meski kadang menderita juga -_-

  • Topik pembicaraan anak tengah

Tokohnya Ress dkk, soalnya Ress itu kakak kembarnya Ren ya…

Alice : Aku nggak suka jadi anak tengah di keluargaku, pasti disuruh-suruh terus sama kakakku. Yang paling disayang ya adikku doang.

Ress : Hm, kalau di keluargaku sih, biasanya yang disuruh-suruh adikku.

Rilianne : Kalau di keluargaku sih, aku yang anak tengah biasa aja.

Ress : Jadi anak tengah memang biasa aja ‘_’

  • Topik pembicaraan anak bungsu

Yang jadi tokohnya Ren dkk

Ren : Aku nggak suka punya kakak. Disuruh-suruh melulu.

Author : Emang ‘_’

Marianne : Tapi di keluargaku, anak bungsu itu yang paling disayang.

Ren : Itu kan kamu -_-

Annabeth : Kalau di keluargaku sih juga sama 😀

Marianne : Memang sih, jadi anak bungsu memang menyenangkan, meski terkadang nggak terlalu menyenangkan, terutama kalau dijahili sama kakak laki-laki.

Ren : Aku sih nggak masalah sama yang itu.

Annabeth : Paling kamu ngelapor ke ortu ^_^

Ren : Nggak tuh, aku bales jahilin.

Annnabeth & Marianne : -_-

***

Ren POV

Hujan salju turun di sepanjang jalan. Bau khas kue jahe dan cokelat panas menguar dari toko-toko. Lagu-lagu khas natal diputar di sana sini. Udara semakin mendingin, aku merapatkan syal dan mantel yang kupakai. Aku lalu membayangkan imej-imej anak perempuan yang kadang suka ditindas oleh temannya sendiri.

Di Jepang, imej anak perempuan yang tertindas adalah perempuan yang memakai kacamata dengan rambut yang dikepang, lalu mereka itu suka menyendiri dan membaca buku. Sementara di sekitarku, imej anak tertindas biasanya anak perempuan yang berambut panjang dan menutupi muka, dan pada umumnya mereka juga pendiam sih.

Pikiranku sedikit melayang-layang mengingat temanku yang bernama Anna Alberta. Dia anak yang cukup manis, tapi sayangnya ia sering ditindas oleh siswi-siswi lain.

“Ren, film tadi seram sekali ya…Aku takut…” ucap Ress seraya memeluk lenganku.

“Biasa saja kok.” balasku. Aku dan Ress baru saja pulang dari bioskop untuk menonton film di akhir pekan. Film yang kami tonton adalah film Creep (2015).  Tadi, saat di bioskop berisik karena banyak perempuan yang berteriak ketakutan saat film diputar. Salah satu perempuan yang menjerit itu adalah kembaranku sendiri. Kepalaku jadi pusing karena mendengar kebisingan di bioskop tadi.

Memang, akhir-akhir ini, Ress yang sebelumnya seorang K-Popers, mulai berubah menjadi seorang penonton film horor. Sementara aku sudah suka film horor dari dulu.

“Mmm, Ren, kamu masih punya CD film horor kan? Nanti di rumah nonton lagi yuk.” Ajak Ress.

Aku menoleh ke arahnya dan memasang tatapan meremehkan.”Lebih baik tidak usah. Bukannya sepanjang menonton film tadi kau ketakutan?”

“Aku tidak takut!” sanggah Ress.

“Oh ya? Buktinya sampai sekarang kau masih gemetaran ketakutan.” ucapku lalu tertawa.

“Aku tidak ketakutan! Aku menggigil kedinginan tau!”

Aku masih terus tertawa, sementara Ress memukul tanganku pelan. Akhir pekan ini terasa menyenangkan meski tidak ada Kak Ricky. “OK, nanti di rumah kita akan menonton film yang kau mau, tapi jangan menjerit seperti tadi ya.” ucapku seraya menyeringai.

 “Terserahlah!” balas Ress seraya memalingkan wajah. Tapi sedetik kemudian dia menarik tanganku. “Itu bukannya Alberta ya?” tanya Ress seraya melirik ke arah gang di samping. Tampak siluet seorang gadis dikelilingi oleh beberapa anak perempuan lain.

“Dari mana kau tau kalau itu Alberta? Bisa saja itu orang lain.” Ucapku tidak peduli.

“Kelihatannya gadis itu sedang dijahati.” Ress menebak-nebak.

“Kau kan tidak melihatnya secara jelas.” balasku. Aku menarik tangan Ress, “Ayo kita pulang. Bisa jadi mereka sedang mengobrol atau apa. Bisa jadi mereka hanya teman biasa, bukan apa-apa.”

“Oh…Em, Ren, apa menurutmu mereka sedang melakukan hal yang biasa? Jika memang teman, kenapa salah satu dari mereka menampar yang lain?” tanya Ress lagi.

Kali ini aku menghentikan langkahku. Aku berusaha memerhatikan kumpulan gadis yang berada di gang itu, lalu berjalan mendekat. Akhirnya aku bisa mendengar percakapan mereka meski suaranya agak pelan.

“Ayo berikan uang jajanmu pada kami!”

“Kamu tidak akan menyesal!”

“Nanti akan kuganti uang jajanmu itu. Kalau kamu mau menuruti kami kamu juga akan kuberi tambahan!”

Sepertinya gadis itu memang ditindas,’ gumamku dalam hati.

Aku mengambil dompetku, lalu melemparnya ke arah gadis-gadis itu. Serempak, mereka menoleh padaku dan Ress. Rupanya, gadis-gadis itu adalah Odd Geng, sekelompok pembuli di sekolahku. Dan, gadis yang sedang ditindas itu memang Alberta.

Aku berjalan mendekat, lalu mengambil dompetku kembali.“Maaf mengganggu acaranya. Tadi dompetku jatuh di sini.” ucapku, lalu berbalik pergi.

“Kamu sedang apa?” tanya Bridget, ketua Odd Geng.

“Ya, tadi kamu sudah lihat kan? Aku hanya mengambil dompetku. Tenang saja, aku tidak lihat apa yang kalian lakukan pada Alberta.” ucapku berpura-pura.

“Hei, Ren, kuberitau ya, ini bukan pemerasan!” ucap salah satu dari Odd Geng, nama gadis itu adalah Viona.

Aku tertawa pelan,“Iya aku tau kalau ini bukan pemerasan.” Aku tersenyum, dan melanjutkan,”Tapi penindasan ‘kan? Ya…Kalau begitu besok akan kulaporkan pada Miss Angie.”

Odd Geng menggeram kesal. “Kami akan pergi hari ini, Anna!” ucap Bridget pada Alberta. Lalu mereka semua pun pergi meninggalkan kami bertiga.

“Ayo Ress, kita pulang!” ucapku seraya menarik tangan Ress.

Waktu itu, tanpa sengaja, pandanganku dan pandangan Alberta bertemu. Matanya tampak berbinar-binar seolah hendak menyampaikan sesuatu. Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan. Alberta juga tersenyum, tapi ia tidak mengatakan apa pun. Sampai di sini, hubunganku dan Alberta hanyalah teman biasa.

***

Ren POV

Keesokan harinya…

“Kalian sudah menonton film Creep?!”

Begitu aku dan Ress masuk ke kelas, kami sudah diserbu *eh, maksudnya dihampiri ding, kalau diserbu kan, orangnya bisa terluka* oleh Alice, Annabeth, Marianne dan Rilianne. Sekarang, teman dekatku bukan Shira lagi. Saat naik ke kelas tiga, Shira tidak lagi sekelas denganku. Sekarang, teman dekatku adalah Alice, Annabeth, Marianne, dan Rilianne.

“Sudah, kemarin.” ucapku seraya menaruh tas di bangku. Alice duduk di deretan bangku di depanku bersama Rilianne, sementara Annabeth dan Marianne duduk di deretan bangku di belakangku.

“Oh ya, aku sudah punya boneka voodoo lho!” ucap Alice. Ia mengambil sebuah boneka voodoo berwarna putih dari tasnya dan memamerkannya pada kami. Di leher boneka itu ada sebuah pita berwarna biru.

Aku mengambil boneka voodoo itu. “Wah, ini yang namanya boneka voodoo ya. Kok imut begini sih…” ucapku seraya menyeringai jahil.

“Sudah ah! Aku memang sengaja menambahkan pita biru itu supaya boneka voodoonya tidak seram tau!” balas Alice.

“Kalau takut, kenapa kamu beli? Daripada membicarakan tentang boneka voodoo…” ucapku seraya mengambil dua boneka kelinci dari tas,”…nih, lihat! Boneka B-Rabbit sama White Alice yang kubeli waktu ke Jepang!”

“Apa ini?” tanya Alice sambil memerhatikan kedua boneka itu.

“Ini bukannya bonekaku ya?” tanya Ress seraya mengambil boneka White Alice. “Kapan kamu ambil, Ren?”

“Hehe, kemarin malam, sewaktu kamu sudah tidur.” jawabku.

“Oh ya, Ren, ini boneka apa? Namanya siapa?” tanya Annabeth.

“Kan tadi sudah kubilang, ini boneka White Alice,” ucapku seraya mengambil boneka kelinci berpita biru,”Kalau yang ini boneka B-Rabbit.” lanjutku seraya menunjuk boneka kelinci berpita merah. “Boneka B-Rabbit ini punyaku, sementara boneka kelinci yang White Alice itu punya Ress.”

“B-Rabbit itu apa sih?” tanya Marianne.

“Artinya Black Rabbit, kelinci hitam.” jawab Ress.

“Haha, tadi kan Marianne bertanya pada Ren.” ucap Rilianne.

“Oh ya, katamu, waktu ke Jepang kamu membeli ini kan? Waktu itu ada acara apa?”tanya Marianne.

“Waktu itu pamanku ada urusan ke Jepang. Beliau pergi bersama istrinya, dan mengajak kami dan kakakku.” ucapku.

“Terus?”

“Waktu di Jepang, karena sibuk, pamanku menitipkan aku dan Ress dengan kenalannya yang bernama Azusa Murakami.” aku menoleh pada Ress,”Kamu masih ingat dengan Azusa-chan tidak?” tanyaku.

“Ah, Azusa-chan ya? Iya, aku masih ingat.” Ress mengangguk.

“Lalu…?”

“Azusa-chan pernah mengajak kami ke Mall Bla bla bla *nama samaran*, lalu di sana ternyata sedang ada pameran anime begitu. Kebetulan, waktu di stand anime Bla bla bla *nama samaran*, aku lihat ada boneka ini. Terus aku sama Ress beli deh.” lanjutku.

*bilang aja kalo lo suka sama anime, Thor*

*hehe, sori ^_^*

“Oh ya, Azusa-chan itu jago bahasa Inggris?” tanya Annabeth tertarik.

“Lumayan sih.” ucapku seraya mengingat-ingat.

“Kalian pasti punya foto waktu di Jepang kan?” tanya Marianne.

Ress mengangguk. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu mengoperkannya pada Marianne dan Annabeth. “Itu kebanyakan foto kami sewaktu kami jalan-jalan di Kyoto.” ucap Ress. “Waktu itu kakak kami tidak ikut jalan-jalan. Ia ikut bersama paman dan bibiku.”

“Eh, Ren! Memang kamu itu punya kakak yang lain ya? Bukannya kakakmu hanya Ress?” tanya Alice.

“M….Aku punya kakak laki-laki, namanya Ricky.” ucapku.

Rilianne tampak tertarik.“Terus? Kakak kamu itu seperti apa orangnya? Ganteng ya?” tanya Rilianne. “Eh, aku boleh coba lihat foto kakakmu?”

Aku mengeluarkan ponselku dan menunjukkan salah satu foto Kak Ricky pada Rilianne. Cukup lama Rilianne memegang ponselku. “Wah, ini foto kakakmu ya?” tanya Alice.

“Iya.” jawabku.

“Fotonya diambil sewaktu kapan nih?” tanya Annabeth. Ternyata, tau-tau saja Annabeth dan Marianne sudah ikut merubung ponselku.

“Itu sewaktu kakakku ikut pertandingan basket di Florida.”

“Eh, Ren, kakak kamu kelas berapa sih? Dia tidak satu sekolah sama kita ya? Habisnya aku tidak pernah melihatnya.” tanya Rilianne. Annabeth, Alice dan Marianne juga menatapku seolah-olah meminta jawaban.

“Kenapa, kok tanya-tanya tentang kakakku? Tertarik ya?” godaku. Pipi Rilianne merona malu. Aku tersenyum jahil,“Ya sudah kalau kamu mau tau. Tapi jangan kaget ya, apalagi menyesal.” lanjutku.

“Ah, mana mungkin aku menyesal.” ucap Rilianne.

“Kakakku sekolahnya juga di sini kok, di London Central University. Umurnya kalau tidak salah tahun ini akan menjadi dua puluh dua.” jawabku.

“Hah?! Kakakmu itu sudah kuliah?”

Yang kaget bukan hanya Rilianne. Annabeth, Alice dan Marianne juga kaget. Aku menoleh ke arah Ress, dan ia hanya mengangkat bahu, seolah-olah tidak peduli.

“Kenapa, kalian sangat tertarik pada kakak kami ya? Hm, kalau mau sih, kalian bisa kenalan sama Kak Ricky kok.” ucap Ress. Ia tersenyum simpul, mengabaikan aku yang agak bingung.

“Eh?! Boleh nih?! Kapan?!” tanya Rilianne dkk serempak. Ress menoleh padaku. “Kalau kalian mau, nanti malam ke rumah kami saja. Biasanya sih, kalau malam Kak Ricky sedang ada di rumah. Bagaimana Ren, kamu setuju tidak?”

“Wah setuju banget! Boleh sekalian menginap tidak?”

“Nanti ya, tanya kakakku dulu.”

Aku termangu sejenak karena percakapan itu, tidak sadar ada sesosok bayangan yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan kami berenam. Aku baru sadar ketika orang itu berbicara,”Oh, nanti malam kalian mau berkunjung ke rumah Ren dan Ress ya?! Sebelumnya, bersihkan toilet dan gudang sekolah dulu!”

Aku terlonjak, Ress terkaget-kaget, Annabeth melongo, Alice terperangah tidak percaya, Marianne juga terperangah sementara Rilianne gemetaran menatap orang itu. Orang itu adalah Mr. Bred, wali kelas kami yang super galak.

***

Ren POV

“Huh…Mr. Bred menyebalkan! Karena membersihkan toilet, aku menjadi lelah! Padahal setelah ini kan masih ada pelajaran olahraga!” keluh Rillianne. “Lagi pula, aku tidak terbiasa membersihkan toilet tau! Susah! Susah!” jeritnya.

Aku menatap teman-temanku yang sedang membersihkan toilet satu per satu. Alice sedang membersihkan langit-langit toilet, Rillianne sedang membersihkan kaca, Annabeth sedang menggosok lantai, Marianne juga sedang menggosok lantai, Ress juga sedang membersihkan langit-langit, sementara aku secara sukarela mengambil bagian membersihkan kloset.

Perlu kuakui kalau secara umum murid-murid di sekolahku tidak ada yang pandai dalam urusan membersihkan rumah. Kebanyakan teman perempuanku juga tidak pandai memasak. Sedari tadi, hanya aku dan Alice yang tidak mengeluh. Aku sih, biasa saja terhadap tugas-tugas seperti ini, sementara kalau Alice, mungkin ia senang karena bisa menghindari pelajaran fisika yang dibencinya—Mr. Bred mengajar fisika di kelas kami.

“Tidak apa-apa. Setelah ini kan kita bisa istirahat sebentar.” ucap Marianne menanggapi.

Jadi begini, singkat kata singkat cerita, karena kami tidak memperhatikan bel sekolah dan kedatangan Mr. Bred karena terlalu asyik mengobrol satu sama lain, kami dihukum, disuruh membersihkan toilet-toilet angker di London Central Elementary School, lalu dilanjut dengan toilet di sekolah kami sendiri, lalu ke toilet angker di London Central Senior High School, dan yang terakhir, London Central University. Sekarang, kami sedang membersihkan toilet angker terakhir di kampus Kak Ricky.

“Ah, capek!” keluh Annabeth. Ia berhenti menggosok lantai, lalu duduk.

“Nanti rokmu bisa kotor.” Ress memperingati.

“Ah iya ya.” Annabeth segera bangkit, lalu kembali menggosok lantai. Akhirnya, kami kembali mengerjakan pekerjaan kami masing-masing.

***

Ren POV

“Aduh, badanku pegal-pegal…” ucapku saat aku dan Ress sedang berada di ruang ganti pakaian. “Mr. Bred mengasih hukumannya tidak kira-kira!” keluhku lagi. Memang, di depan teman-temanku aku tidak mengeluh soal membersihkan toilet itu. Tapi ya, aku masih manusia, masih mengeluh juga.

“Kamu tidak usah ikut pelajaran olah raga saja.” saran Ress.

“Aku mau ikut pelajaran olah raga!” pintaku.

“Tapi, apa nanti kamu tidak terlalu lelah?” tanya Ress.

Aku terdiam sebentar. Alasanku ingin ikut olah raga kali ini—meski badanku masih pegal-pegal—adalah karena materi pelajaran olah raga kali ini adalah bermain tenis. “Aku sudah lama tidak main tenis.” gumamku.

“Ya sudah, terserahmu saja…” balas Ress. “Tapi, ingat! Nanti malam mereka akan berkunjung ke rumah kita. Jangan sampai kamu kelelahan.”

“Tentu saja!” aku tersenyum.

“Eh, sebentar, tadi ada pesan dari Miss Angie.” ucap Ress seraya meraba-raba saku celana olah raganya. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu. “Untuk pelajaran biologi, kita disuruh sekelompok dengan Alberta. Tugas biologinya itu kira-kira sebagai PR liburan musim dingin, tapi cukup banyak. Nanti kuberitau detailnya.” lanjut Ress seraya menyimpan ponselnya.

“Oh… begitu.” tanggapku. “Jadi, kita harus kerja kelompok dengan Alberta ya?”

“Kelihatannya kamu tidak senang.” ucap Ress.

“Biasa saja kok.” balasku.

Begitu keluar dari ruang ganti pakaian perempuan, kami dihadang oleh Odd Geng. Ketuanya, Bridget, tersenyum sinis.”Kudengar kamu akan sekelompok dengan Anna pada saat pelajaran biologi ya?”

Aku memasang ekspresi datar. “Kalau iya, memang kenapa?”

“Dengar ya, kamu tidak boleh membela Anna atau membantunya!” bisik Bridget. Ia menarik kerah bajuku,“Kalau kamu melawan, kamu akan kubuat menyesal karena menolongnya, di sini sekarang juga!”

“Oh ya?”

Aku melepaskan tangan Bridget. Ia tampak bingung. Aku menarik napas sejenak, lalu menendang ke atas, kena telak ke dagu Bridget. Perempuan itu terjatuh, namun tidak ada seorang pun anak buahnya yang mau menolongnya. “Kalau kalian tidak mau terluka seperti Bridget, kalian jangan coba-coba mengganggu Alberta.” ucapku kalem.

Anak-anak buah Bridget mengangguk. Mereka membantu Bridget berdiri, mundur teratur, lalu kabur begitu saja.

“Ayo, Ress, sampai kapan mau diam di sana? Pelajaran olah raga akan segera dimulai!” ucapku seraya menarik tangan Ress.

“Eh, oh ya. Eh, Ren, tadi itu namanya tendangan apa? Kamu belajar di mana?” tanya Ress.

“Aku tidak belajar di mana-mana kok.” jawabku. “Tapi, dulu waktu kita ke Jepang, sewaktu di kuil Shinto-cho, di sana ada bangunan kayu begitu ‘kan? Lalu di sana ada orang-orang yang latihan bela diri begitu ‘kan? Azusa-chan bilang itu namanya dojo, dan orang-orangnya sedang latihan bela diri tekondo. Aku sempat melihatnya cukup lama, jadi hafal beberapa gerakannya.”

“Ngomong-ngomong, gerakan tadi cukup mudah! Aku mau coba!” ucap Ress seraya berusaha menirukan gerakanku tadi. Tapi ia malah mengaduh-aduh kesakitan.

Memang, tendangan tadi sekilas mudah, seperti split ke atas saja. Tapi, kalau ototnya kaku, akan susah. Ototku cukup lentur karena pernah ikut klub Field and Track sewaktu kelas enam. Lagi pula, kalau asal tendang seperti Ress tadi, bisa berakhir di Ruang Kesehatan secara mengenaskan *maksudnya berakhir di Ruang Kesehatan karena kecerobohan diri sendiri ding*

***

Aku menenteng tas olah ragaku, dan berjalan keluar dari halte bus bersama Ress. Seperti anak kembar pada umumnya, kami menganut motto ‘ke mana-mana bersama’. Aku melirik jam tangan, rupanya sudah jam enam sore. Salju masih menumpuk di jalanan. Kabarnya, malam hari ini salju akan kembali turun.

“Nanti malam makan apa ya…” tanya Ress.

“Aku sudah tau mau masak apa kok.” jawabku.

“Ren! Ress!”

Kami berdua serempak menoleh. Tampak seorang gadis berambut cokelat panjang sepunggung berlari menghampiri kami.

Kami berhenti berjalan. Ia juga berhenti berlari, ia membungkuk dan napasnya terngah-engah.

“Alberta…?” tanya Ress.

Gadis itu mengangkat kepalanya seraya berusaha mengatur napas. Pipinya merona merah, dan ia tersenyum. “Eh, kata Miss Angie, kita sekelompok pada pelajaran biologi ‘kan? Kapan kita mau mulai mengerjakannya? Maaf ya, mendadak memanggil kalian seperti ini!” ucap Alberta.

“Oh begitu. Kebetulan sih, aku dan Ress lagi pulang ke rumah. Kalau mau ayo mampir, nanti kita diskusikan PR nya di rumahku saja.” jawabku sambil melirik Ress.

Ress mengangguk setuju. “Ayo, Alberta, ikut ke rumah kami saja mau?”

Alberta tampak senang, matanya yang berwarna hijau—yang mirip dengan Ress itu—berbinar gembira. “Oke, aku ikut!”balasnya.

Sepanjang sisa perjalanan ke rumah, Ress dan Alberta asyik mengobrol. Tapi, topik obrolannya biasa saja, tidak terkait topik yang sensitif, keluarga atau semacamnya.

“Beli cokelat dulu yuk!” ajakku saat kami melintasi sebuah kafe.

“Emmm boleh juga! Ayo, Alberta!” ucap Ress seraya menarik tangan Alberta. Aku menekan gagang pintu kafe tersebut, membukanya, dan aroma manis khas cokelat dan kue jahe menguar.

“Eh, tunggu dulu, aku tidak mempunyai uang.” ucap Alberta.

Aku menunjukkan dompetku. “Jangan khawatir, kamu akan kujajani kok.” ucapku seraya mengedipkan mata.

Alberta tersenyum, membiarkanku mengikuti kemauanku.

***

Ren POV

Sesampainya di rumah…

“Ayo masuk, Alberta!” ajakku. Aku membukakan gerbang rumah, dan membiarkan Ress dan Alberta masuk duluan. Aku segera masuk dan kembali menutup gerbang rumah.

“Wah, rumahmu besar ya… Ada berapa lantai?” tanya Alberta.

Kebetulan, di komplekku, hanya rumah kami yang bertipe hook. Makanya halamannya super luas. Halaman depan di pasang paving block, dan di halaman belakang ada kolam renang dan taman mini.

“Hanya dua kok.” jawab Ress seraya tersenyum.

Catatan : kalau orang Inggris itu menyebut lantai itu seperti ini, lantai satu dibilangnya lantai ground (di lift ditulisnya G), lantai dua itu lantai satu, dan seterusnya.

Kami bertiga menaiki tangga yang terhubung dengan pintu depan. Ress mengeluarkan kunci cadangan dari saku jaketnya, dan membuka pintu. “Ayo masuk Alberta, mau kusajikan teh atau cokelat?” tanya Ress.

“Eh, Alberta, tunggu dulu! Sebelum masuk, ganti sepatunya dengan selop rumah dulu ya!” aku menginterupsi. Aku mengambilkan selop rumah khusus untuk para tamu, lalu memberikannya pada Alberta. “Pakai ini ya! Supaya lantai rumahnya tidak kotor!”

“Oh eh ya, terima kasih.”

“Ayo ke ruang tamu! Biar aku yang bawakan tasnya!” ucap Ress.

“Eh, jangan repot-repot…” wajah Alberta terlihat memerah.

“Harusnya kamu yang jangan sungkan-sungkan dengan kami…” ucapku.

Aku membukakan pintu ruang tamu, dan menyuruh agar Alberta segera masuk. Ress segera menyuguhkan minuman pada Alberta.

 Ruang tamu, atau ruang perapian besar, adalah salah satu ruang kesukaanku di rumah. Lantainya adalah lantai parquet, dilapisi oleh permadani tebal berwarna merah, dan dindingnya dilapisi wallpaper bermotif bunga krisan emas. Ada empat sofa beludru berwarna merah, mengelilingi sebuah meja kecil di tengah ruangan. Di atas meja itu ada berbagai macam makanan ringan berMSG, yang kebetulan oleh-oleh dari Kak Ari, kolega Kak Ricky yang tinggal di Indonesia.

*bilang aja kalo kamu suka makanan MSG Thor*

*emang suka sih…*

Tepat di seberang pintu, ada sebuah perapian besar. Memang sih, ada tiga perapian di ruangan lain, tepatnya di perpustakaan pribadiku, di ruang bermain dan di ruang kerja Kak Ricky, tapi perapian paling enak hanya ada di ruang tamu. Di hari seperti ini, kebanyakan orang memasang penghangat ruangan, tapi saat membangun rumah ini, kedua orang tuaku membuat perapian dan cerobong asap karena Mama menyukai perapian klasik. Aku memasukkan beberapa kayu bakar ke dalam perapian dan menyalakannya.

“Eh, Alberta, mau ikut ke atas? Aku dan Ren harus mandi dulu.” ucap Ress. “Kalau mau menunggu, kamu bisa menunggu di ruang tunggu.”

“Eh, ya sudah…Ayo…”

Kami bertiga segera keluar dari ruang tamu. “Alberta, ayo! Di sini liftnya!” ucapku seraya menekan salah satu tombol di dinding lift.

“Lho, kenapa pakai lift segala? Kan hanya ada dua lantai?” tanya Alberta.

“Iya, memang hanya ada dua lantai tingkat, satu lantai dasar, dan yang terakhir lantai bawah tanah.” jawab Ress.

Sebenarnya sih, biasanya aku dan Ress lebih suka naik lewat tangga, tapi karena lagi ada tamu, aku sengaja pakai lift.

“Jadi sebenarnya ada empat lantai?!”

Aku dan Ress sama-sama menyeringai jahil. Di lantai satu, Ress mengajak Alberta ke ruang tunggu, sementara aku segera ke kamarku. Begitu aku menutup pintu kamarku, aku langsung mengecek ponsel dan menghela napas lesu.

  • mail yang kukirim pada Kak Ricky belum dibalas juga.

***

Ricky POV

Bunyi peluit tanda istirahat pertandingan terdengar. Aku melangkah menuju tribun tempat aku dan teman-temanku menaruh tas olahraga. Aku mengeluarkan ponsel dari tas,“Eh, ada satu e-mail dari Ren. Apa ya isinya…” gumamku seraya mengeceknya.

Kakak, nanti malam ada lima temanku mau menginap di rumah. Boleh ya?

‘Isinya hanya seperti ini? Ya sudah…’ pikirku seraya menulis balasan. Selesai menulis balasan, aku hanya diam seraya memperhatikan wallpaper home screen ponsel. Untuk wallpaper home screen ponsel, aku sengaja pakai foto Ren dan Ress. Sebaliknya, untuk wallpaper home screen ponselnya, Ren memakai fotoku dengan Ress, dan Ress memakai fotoku dengan Ren untuk wallpaper home screen ponselnya.

“Eh, Ricky, itu foto siapa? Kamu dan pacarmu ya?” tanya Oswald dengan tiba-tiba. Aku kaget mendengaranya.

“Apa? Pacarnya Ricky? Kamu sudah punya pacar ya Rick?” Eric ikut-ikutan bertanya. Ia mengambil ponselku, lalu memerhatikan wallpaper home screennya. “Yang dimaksud oleh Oswald foto yang ini? Wah, anaknya cantik banget!”

“Mana? Mana?”

Nathan dan Ryan, sohibku di klub basket, ikut-ikutan melihat ponselku. “Ya ampun ini pacarmu Rick? Cantik banget!”

“Katanya kamu belum punya, ternyata diam-diam…”

“Itu bukan pacarku tau!” ucapku kesal seraya merebut ponselku kembali. “Asal kalian tau ya….Ini tuh, foto adikku!”

“Adikmu dan pacarnya?” tanya Oswald. Ia menyeringai jahil.

“Bukan.” aku menggeleng.

“Lalu, siapa dia?” tanya Nathan.

“Yang anak bermata biru itu kan? Itu adikku juga.” jawabku.

“Hah? Adikmu juga?!” tanya Eric dengan kaget. Bukan hanya ia yang kaget, Oswald, Nathan dan Ryan juga kaget.

“Iya. Memang kenapa?” aku bertanya balik seraya memegangi kepala yang mendadak pusing. ‘Sepertinya aku demam. Tapi…sebentar lagi permainan basketnya selesai. Nanti aku akan segera pulang…’ batinku.

“Adikmu yang ini juga main basket ya?” tanya Ryan.

“Kadang-kadang sih.” gumamku.

“Sepertinya cocok nih kalau kita rekrut ke klub kita.” ucap Nathan.

“Hei…”

Mendadak, peluit tanda permainan akan segera dimulai berbunyi. “Ayo, sudah mau mulai tuh!” ajakku.

Aku, Oswald, Eric, Nathan dan Ryan segera kembali ke lapangan, dan kembali bermain basket. Sebenarnya, kepalaku sudah lumayan pusing, tapi sepertinya, kalau aku memaksakan diri, aku masih bisa bertahan sampai akhir permainan. Di tengah permainan, aku merasa sudah tidak kuat.

Ah, aku benar-benar sudah tidak kuat…

Buk!

Kesadaranku menghilang, membiarkan alam bawah sadarku mengambil alih pikiran.

***

“Sudah sadar?”

Kesadaranku masih timbul tenggelam, dan pandanganku masih buram. Suara tadi…siapa ya?

Aku mendengar pembicaraan yang terdiri dari sekelompok orang. Aku meraba-raba keningku sendiri, dan menemukan sehelai kain basah yang dingin. Aku beranjak duduk, dan pandanganku mulai menjelas. Ternyata, ini di Ruang Kesehatan, dan ada Oswald, Nathan, Eric dan Ryan.

“Kata suster, kamu sedang demam.” Ryan membuka pembicaraan.

“Kalau begitu, mana ponselku…? Aku mau segera pulang…”

“Akan kuambilkan dulu.” ucap Eric.

Nathan menyodorkan secangkir teh padaku,”Minum tehnya dulu, Rick.”

Beberapa saat kemudian Eric kembali dengan membawa ponselku. “Ini.”

“Terima kasih.” aku segera mengaktifkan ponsel, lalu menelepon Ren. Tak berapa lama kemudian, ia sudah mengangkatnya.

“Halo, Ren…?”

Ya Kak, kenapa?

“Bisa jemput aku pulang?” tanyaku.

Lho, bukannya tadi sore Kakak berangkatnya pakai mobil?” tanya Ren.

“Iya, tapi aku mendadak demam, tadi sampai pingsan. Aku khawatir tidak bisa menyetir sendiri sampai ke rumah.” jawabku.

Ya sudah, sebentar lagi aku akan berangkat…Kakak tunggu di mana?

“Di Ruang Kesehatan.”

OK.” telepon pun ditutup.

“Oh ya, aku pulang duluan ya…” ucapku.

“Kamu minta dijemput oleh adikmu?” tanya Nathan.

Aku mengangguk. “Memang dia kelas berapa? Dia sudah punya SIM belum?” kali ini Eric yang bertanya.

Aku menggeleng. “Dia menjemput pakai taksi.”

Eric, Nathan dan Ryan terdiam selama beberapa detik. Tiba-tiba, Oswald merangkulku,“Eh, Ricky, gimana kalau kita mengantarkanmu pulang saja?!”

“Eh…”

“Oh iya ya, kita bisa sekaligus mengerjakan tugas musim dingin di rumah Ricky!” ucap Nathan.

“Menginap?! Ayo! Ayo!” yang lain menimpali.

Aku menghela napas pasrah. Dengan cepat, aku menelepon Ren lagi.

“Halo?”

Iya iya, sabar Kak, aku baru saja pesan taksi.” tau-tau saja Ren langsung marah-marah.

“Bukan begitu. Aku tidak jadi dijemput olehmu, teman-temanku mau mengantarku pulang sekaligus menginap di rumah.”

Apa?!

“Sudah ya, tolong siapkan kamar tamu.”

Eh, Kakak, tunggu?!

Pip pip. Aku menutup telepon.

“Sudah ya, yuk pulang!” ajak Oswald seraya mengggandeng tanganku. Aku sampai terkaget-kaget.

“Mau kubantu bawakan tas, Ricky?” Nathan menawarkan.

“Ada yang bisa kubantu?” kali ini Ryan menawarkan bantuan.

Eric ikut-ikutan menawarkan bantuan,“Rick, nanti biar aku saja yang menyetir ya!”

“Kalian ini kenapa sih?! Kok jadi pada aneh?” ucapku kesal. Kesal karena mereka mendadak perhatian sekali padaku. Maksudku kan, kami laki-laki. Masa pakai acara gandengan tangan atau saling membantu segala.

“Maaf deh Rick, kita lagi semangat buat bantuin kamu, soalnya.” ucap Nathan seraya menyeringai jahil.

Aku menghela napas pasrah,“Terserahlah…”

***

Ren POV

“Jadi, kita buat tugas yang ini pakai slide saja ya?” tanya Alberta.

“Iya, nanti kita susun dulu tugasnya, lalu dipindahkan ke komputer.” jawabku.

“Oke deh, kita mulai susun tugasnya kapan? Banyak sekali nih tugasnya.” ucap Alberta.

“Kita mulai saja dulu dari bab satu.” Ress menanggapi.

“Oh ya, mau membuat tugasnya di mana nih? Cari ruangan yang enak yuk.” ajakku.

“Bagaimana kalau di ruang bermain saja?” tanya Ress.

“Boleh juga tuh! Ress, kamu antarkan Alberta duluan ya, aku mau ambil buku Biologiku dulu!” ucapku seraya bangkit berdiri.

Beberapa menit kemudian, aku sudah menyusul ke ruang bermain. Ruangan bermain ini, secara harfiah memang tempat untuk bermain. Lantai parquetnya dilapisi dengan karpet bulu berwarna pink, dan di ujung ruangan ada sofa berwarna lembut. Di sisi lain ruangan, ada tiga lemari pajangan. Satu lemari pajangan milik Ress berisi victorian doll, satu lemari pajangan milikku berisi rakitan lego, dan satu lemari pajangan lainnya diisi dengan helikopter mainan milik Kak Ricky. Ruangan bermain ini cukup luas. Kata Bibi Michael, sewaktu kecil dulu, Kak Ricky sering menghabiskan waktunya di sini. Begitu juga dengan aku dan Ress ketika masih kecil, kami berdua sering bermain bersama di sini.

“Ruangan yang ini juga luas ya…” ucap Alberta.

“Haha, sudah yuk, kita kerjakan tugasnya!” ajak Ress. Aku dan Alberta mengangguk.

Sekitar satu jam kemudian…

Kruyuk…

“Bunyi apa tuh?” tanya Alberta.

Aku menoleh padanya. “Maaf ya, ternyata aku sudah lapar. Aku mau masak makanan dulu. Kalian berdua juga mau ikut ke dapur?” tanyaku.

“Eh, sudah jam 7 ya? Pantas saja, aku juga sudah lapar.” ucap Ress seraya meihat jam tangannya. “Yuk Ren, kita makan dulu.”

“Alberta, yuk ikut makan.” ajakku.

“Eh, ayo.” ucapnya seraya berdiri. “Oh ya, kalian panggil aku Anna saja ya, aku nggak terlalu nyaman kalau dipanggil dengan nama keluarga.”

“Ya sudah, Anna.”

Kami bertiga naik ke lantai tiga, lebih tepatnya, kami pergi ke dapur. “Eh, Ren, kamu mau memasak apa?” tanya Ress.

Fettucini carbonara saja. Anna, tolong bantu Ress menyiapkan piring dan teh ya!” ucapku seraya menjerang air.

Selagi menunggu airnya mendidih, aku mengeluarkan fettucini, bawang bombay dan daging asap dari dalam kulkas. Dengan cekatan, aku memotong-motong bawang bombay dan daging asapnya.

“Kamu bisa memasak ya?” tanya Anna.

Aku menoleh padanya.”Aku?”

Anna mengangguk. Aku kembali beralih pada rebusan fettucini,”Aku bisa memasak sih, tapi kakakku lebih pandai memasak daripada aku.”

Anna mengangguk. “Kalau begitu, bagaimana denganmu, Ress? Kamu juga pandai memasak ya?”

Aku menoleh pada Anna lagi. “Ress itu, menyalakan kompornya saja tidak berani. Ia tidak bisa memasak.”

“Hehe, aku memang belum bisa memasak. Biasanya aku hanya membantu mencuci piring atau menyiapkan makan malam.” ucapnya salah tingkah.

“Oh….” Anna mengangguk. ”Tapi, aku tidak menyangka lho, kalau Ren ternyata bisa memasak. Kupikir, di antara kalian berdua, yang pandai memasak adalah Ress.”

Aku hanya diam seraya memerhatikan masakanku. Sebentar lagi masakannya matang, batinku.

“Kamu sendiri bisa memasak?” Ress bertanya balik ke Anna.

“Aku hanya bisa memasak bubur oat.” jawab Anna.

“Sudah selesai mengobrolnya? Aku sudah selesai masak nih!” ucapku .

“Eh, kamu memasak sebanyak ini? Untuk siapa saja?” tanya Ress kaget.

“Kata Kak Ricky, teman-temannya mau menginap di rumah. Makanya aku masak saja yang banyak.” jawabku.

“Apa?! Teman-teman Kak Ricky juga mau menginap? Ya ampun, artinya kita harus menyiapkan kamar tamu juga!” pekik Ress.

“Nanti saja, ayo kita makan dulu.” ucapku seraya menarik kursi makan. Setelah Ress dan Anna siap, aku segera membagikan fettucini carbonaranya.

Di tengah-tengah acara makan…

Ting tong…

Bel rumah berbunyi. Aku segera mengecek ke interkom yang berada di dapur, dan melihat empat perempuan berdiri di depan gerbang.Aku yakin itu adalah Alice, Annabeth, Marianne dan Rillianne. Aku menekan salah satu tombol,”Siapa ya?”

Hening. Belum ada jawaban.

“Siapa?” tanyaku lagi.

Aduh, baru ingat. Bisa jadi mereka berempat tidak tau caranya memakai interkom!

“Ress, Anna, aku ke bawah dulu ya, sepertinya ada tamu.” ucapku.

Aku terburu-buru turun ke lantai bawah. Sesampainya di depan gerbang, aku segera membukakan gerbang. Di depan gerbang, ada Alice, Annabeth, Marianne dan Rillianne.

“Ayo masuk!” ajakku seraya membuka gerbang lebih lebar. Alice, Annabeth, Marianne dan Rillianne segera masuk. Aku menuntun mereka menaiki tangga ke pintu utama.

“Mau langsung ke kamar tamu? Tadi aku dan Ress sedang makan malam.” ajakku. “Eh, sepatunya dilepas dulu ya, ganti pakai selop rumah.” ucapku seraya mengeluarkan empat pasang selop rumah dari dalam lemari.

“Oh ya, kita jadi boleh menginap di sini?” tanya Annabeth.

“Boleh kok, kakakku sudah setuju.” jawabku.

“Ngomong-ngomong, kakakmu sekarang di mana?” tanya Rillianne.

Aku menatapnya. ‘Sepertinya sejak tadi melihat foto Kak Ricky, dia jadi naksir habis-habisan sama kakak deh…’ batinku. “Kakakku belum pulang, tapi sebentar lagi sampai rumah.”

Sesampainya di kamar tamu…

“Ada dua ranjang dengan ukuran super king di kamar tamu perempuan. Kalian bagi sendiri ya, mau tidur sama siapa saja.” ucapku sembari membuka pintu kamar tamu.

“Satu kasur bisa muat berapa orang?” tanya Marianne.

“Satu kasur bisa muat tiga orang dewasa, jadi kalian nggak bakal tidur sempit-sempitan.” jawabku.

“Wah, kamarnya luas sekali!” komentar Annabeth.

Alice meloncat ke salah satu kasur, dan memeluk bantal. “Kasurnya empuk banget! Enak!”

*Itu kasur Lice, bukan makanan*

“Ya sudah, apa kalian sudah makan malam? Ikut ke dapur yuk, tadi aku masak fettucini carbonara untuk kalian!” ajakku.

“Wah, Ren bisa memasak ya? Hebat!” puji Annabeth.

“Ahaha, biasa saja kok…” balasku.

“Oh ya, Ren, rumahmu besar sekali ya? Tapi kenapa tidak ada pelayannya?” tanya Marianne.

“Oh…Kalau itu sih, sejak kedua orangtuaku meninggal, para pelayan yang dulu bekerja di sini berhenti bekerja. Sekarang, yang tinggal di sini hanya kami bertiga, aku, Ress, dan kakakku.”

Ting tong…

Bel rumah lagi-lagi berbunyi. “Maaf ya, Alice, Annabeth, Marianne, dan Rillianne, sepertinya ada tamu lagi. Aku panggilkan Ress dulu ya, untuk menemani kalian.” ucapku.

Aku segera pergi ke dapur. ”Ress, tolong ajak mereka berempat makan malam ya, sepertinya Kak Ricky sama teman-temannya sudah datang, aku harus ke bawah dulu!” ucapku.

Ress hanya mengangguk.

***

Ren POV

Aku terburu-buru membukakan gerbang, lagi. Di sana, ada sebuah Honda Civic hitam milik Kak Ricky, tapi yang mengendarainya bukan Kak Ricky, melainkan seorang pemuda berambut pirang.

Tanpa aba-aba, tau-tau saja pemuda berambut pirang itu memasukkan mobil ke halaman utama, dan berkata begini padaku. “Eh, Dik, tolong bukakan garasi bawah tanahnya dong!”

Aku menggertakkan gigi dan menahan amarah,’dasar pemuda sok tau! Memang dia tau dari mana kalau garasi di sini itu di bawah tanah?!’. Dengan agak terburu-buru juga, aku membukakan pintu gerbang bawah tanah. Honda Civic itu meluncur mulus di atas paving block, dan bergabung dengan tiga mobil lainnya di garasi bawah tanah.

Baru saja aku mau menutup pintu gerbang ketika sebuah taksi merapat ke gerbang. Aku terpaksa membuka gerbang untuk ketiga kali.

Dan aku terkejut sekali.

Sang Sopir Taksi keluar, dan membukakan pintu penumpang bagian belakang. Orang yang keluar dari balik pintu tersebut adalah Kak Ricky. Aku segera menyongsongnya,”Kakak, kenapa Kakak pulang pakai taksi?”

Kak Ricky menoleh ke arahku. Wajahnya tampak cukup merah, ini pasti efek demam. “Aku mau istirahat saja.” ucapnya.

Aku mengangguk. Aku segera mengantarkan Kak Ricky ke kamarnya, tidak memedulikan pemuda berambut pirang tadi. Dengan interkom yang terhubung ke dapur, aku berpesan pada Ress agar membawa teman-teman Kak Ricky ke kamar tamu, dan melakukan tur orientasi.

Sembari menunggu Kak Ricky selesai mandi, aku mengambil setablet parasetamol, dan membuat teh.

Pintu kamar mandi terbuka, dan Kak Ricky keluar. “Kakak, kakak minum obat dulu ya, baru tidur. Apa Kakak juga mau makan malam dulu? Aku sudah masak makan malam…” aku mengulurkan parasetamol dan cangkir teh.

Kak Ricky duduk di tepian tempat tidurnya, dan mengambil parasetamolnya. Ia lalu mengambil tehnya dan meminumnya. “Terima kasih, Ren, tapi sekarang aku hanya ingin istirahat dulu.” ucapnya dengan nada lemah.

Aku hanya mengangguk seraya menatapnya. Ketika sedang Kak Ricky sedang sakit, rasanya aku tidak bisa melepaskan pandangan darinya. Begitu juga ketika Ress sedang sakit, rasanya aku tidak bisa beranjak dari sisinya meski hanya sedetik. Entahlah.

 Begitu Kak Ricky berbaring, aku segera menyelimutinya. Aku mengambil sebuah waslap berwarna biru dari laci nakas, memberinya sedikit air dan menaruhnya di atas kening Kak Ricky.

“Kak, aku keluar dulu ya.” ucapku.

Tiba-tiba Kak Ricky menarik ujung pakaianku. Aku beralih lagi padanya. “Maaf ya…Aku sudah membuatmu kesusahan.” ucap Kak Ricky dengan lemah.

Aku hanya tersenyum simpul, mengangguk, lalu keluar dari ruangan.

“Eh, Ren…?” Aku berbalik lagi.

“Kamu mau menemani Kakak di sini?” Kak Ricky bertanya seraya tersenyum memohon.

“Ya sudah…”

***

Ress POV

“Teman-teman, kebetulan, ada teman-teman kakakku. Mereka mau menginap di sini. Nah, supaya kalian tidak tersesat saat jalan-jalan di sini, makanya kta melakukan tur orientasi.” ucapku saat kembali ke dapur.

Alice dkk langsung setuju. Mungkin mereka penasaran juga dengan seluk beluk rumahku. Aku langsung mengajak mereka ke garasi bawah tanah, tempat teman-teman Kak Ricky menunggu.

Di sana, setidaknya ada empat pemuda sedang menenteng koper(?). Salah satunya memegang kunci mobil. Aku menghampirinya,”Kakak-kakak semua temannya Kak Ricky ya?” tanyaku.

Kakak yang memegang kunci mobil itu mengangguk dan memberikan kunci mobil itu padaku,”Iya, namaku Eric Jefferson.”

“Kak Jefferson, lalu…” ucapku.

“Aku Oswald Mitchell.” pemuda berambut hitam di berdiri paling belakang memperkenalkan diri.

*makin lama nama Oswald makin mirip nama cewek -_-*

“Kak Mitchell.”

“Kalau aku Ryan Raymond.” ucap pemuda yang berambut pirang platina.

“Kak Raymond.”

“Aku Nathan Celtic.” pemuda terakhir memperkenalkan diri.

Aku tersneyum,”Kak Jefferson, Kak Mitchell, Kak Raymond, dan yang terakhir Kak Celtic ya? Perkenalkan, namaku Ress Vlore, lalu yang di sana Alice Ellianna, Annabeth Maurice, Marianne Kelvin, Rillianne Candela, dan yang terakhir Anna Alberta.”

“Oh, begitu. Salam kenal semuanya!” ucap Kak Mitchel sambil tersenyum. Mengamati senyumnya sejenak, aku langsung tau kalau Kak Mitchell ini tipe orang yang aktif dan suka diajak bicara. ‘Sepertinya dia bukan teman yang membosankan.’ aku membatin.

“Kita akan melakukan tur orientasi dahulu sebelum ke kamar tamu. Dan bagi kakak-kakak sekalian, jika belum makan, nanti kalian bisa makan setelah tur orientasi.” ucapku.

Semua orang bergumam menyetujui.

“Yang pertama adalah garasi bawah tanah ini. Di samping garasi ada gudang, lalu satu ruangan di sebelahnya adalah….” aku terdiam sebentar saat melihat pintu ruangan itu.

Alice tampak tidak sabaran. “Ruangan apa?”

“Ruang penyiksaan.” ucapku. Aku beralih ke sana, dan membuka pintunya. “Ruangan ini adalah ruang pertunjukan tentang kejadian pembantaian sekte sesat yang pernah ada di Eropa pada abad ke-18.”

Di dalam ruang penyiksaan, ada alat-alat penyiksaan khan abad ke-18, seperti Iron Maiden atau alat pemacung kepala lengkap dengan keranjang di bawahnya. Ruang penyiksaan adalah salah satu ruangan yang paling kubenci di rumah. Aku heran kenapa Mama dan Papa membuat ruangan semacam ini.

“Sudah selesai melihat-lihatnya? Ayo kita keluar!” ajakku.

Kami bersepuluh berjalan keluar dari ruang penyiksaan. “Di lantai satu, hanya ada dua ruangan.” kataku sembari membuka pintu ballroom. “Yang pertama adalah ballroom, dulu sering dipakai Mama dan Papa untuk pertemuan dengan rekan kerjanya.”

Sama seperti lantai-lantai lain di rumah, lantai di ballroom juga lantai parquet yang dilapisi karpet merah. Hanya saja, ruangan besar ini kosong. Jendela-jendela besar ditutup dengan korden berwarna putih dengan renda. Dindingnya dilapisi dnegan wallpaper bermotif bunga krisan emas.

“Ada banyak lukisan wajah…” gumam Kak Mitchell.

Aku mendongak, menatap lukisan-lukisan yang ada di dinding. “Ya, lukisan yang pertama adalah lukisan kakek dan nenek dari Mama. Yang kedua lukisan kakek dan nenek dari Papa. Yang ketiga adalah lukisan paman dan bibiku. Yang keempat, itu lukisan Kak Ricky ketika ia berumur tujuh tahun. Lukisan yang di sebelahnya adalah lukisan kedua orangtuaku.”

“Lalu, lukisan yang terakhir…?” tanya Kak Raymond.

Aku tersenyum,”Itu lukisanku dengan kembaranku.”

“Lalu, di seberangnya ada ruang tamu.” Aku membimbing semuanya keluar dan membukakan pintu ruang tamu.

“Di depan pintu utama ada aula, lalu ada tangga. Tapi, di sini kami juga memakai lift.” ucapku seraya menekan tombol lift.

“Lalu, di lantai dua ada empat kamar tamu dan satu ruang bermain. Ayo kita ke kamar tamu!” ajakku.

Aku membukakan satu pintu kamar tamu,”Ini kamar tamu laki-laki. Kak Mitchell dan Kak Jefferson kamarnya di sini ya. Ada dua lemari dan dua ranjang ukuran super king untuk masing-masing orang. Di dalam juga ada kamar mandi pribadi. Di sini juga ada balkonnya.”

“Dua kamar di sebelahnya adalah kamar untuk tamu perempuan. Lalu, kamar di ujung sana adalah kamar tamu laki-laki, Kak Raymond dan Kak Celtic tidur di sini ya.” ucapku seraya membukakan pintu kamar tamu yang terakhir.

“Kalau sudah selesai menata, kita lanjutkan tur orientasinya.” lanjutku sambil tersenyum.

“Kami sudah selesai menata barang.”

Aku menoleh ke belakang, dan melihat Kak Mitchel dan Kak Jefferson. “Oh ya, kalau kalian mau, panggil kami langsung dengan nama depan saja ya, sepertinya kalau dipanggil dengan nama keluarga kurang nyaman.”

“Ya sudah.” aku mengangguk. Setelah Kak Ryan dan Kak Nathan selesai menata koper, kami melanjutkan tur orientasi. “Di lantai tiga ada perpustakaan pribadi milik Ren, dan satu ruang kerja milik Kak Ricky. Di kedua ruangan ini juga ada perapiannya, mau coba lihat?”aku menawarkan.

Alice dkk setuju. Aku membukakan pintu perpustakaan pribadi Ren, dan membiarkan mereka masuk. “Ruangan ini kadang dipakai untuk menerima tamu. Buku-buku yang ada di sini ada majalah, novel berbagai macam genre…dan buku ensiklopedia.”

“Yang ini buku apa?” tanya Kak Nathan. Ia menunjuk sederet buku di rak.

Deretan buku di rak itu ada yang berbahasa Jepang, Prancis, Swiss Indonesia, dan Italia. “Itu buku-buku catatan yang dikumpulkan Ren dari negara Jepang, Swiss, Prancis, Indonesia dan Italia. Karena sempat tinggal di Jepang dalam waktu yang lumayan lama, makanya ia mahir bahasa Jepang. Dan karena kami cukup sering ke Swiss dan Indonesia, Ren menjadi cukup fasih berbicara dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia.” jawabku.

“Eh? Ini pintu apa? Kenapa digembok?” tanya Marianne seraya menunjuk pintu di salah satu pojok ruangan.

“Oh, kalau yang itu juga perpustakaan pribadi punya Ren. Tapi entah kenapa pintunya ia gembok begitu, aku tidak tau.” jawabku. “Ya sudah, yuk ke ruangan selanjutnya, ruang kerja kakakku!” ajakku seraya menutup pintu perpustakaan.

Aku menuntun mereka ke seberang ruangan, dan membuka pintu ruang kerja Kak Ricky. Ruang kerja Kak Ricky didesain dengan cat dinding dominan berwarna oranye segar. Di satu sisi ada meja dan kursi, lengkap dengan sepot kaktus dan perangkat komputer di atasnya. Di sisi lain, ada sofa beludu warna pirang platina, dilengkapi dengan rak buku berisi ensiklopedia dan buku sejarah.

“Ruangan ini biasanya dipakai kakak saat bekerja, tapi kurasa ia lebih suka bekerja di kamarnya sendiri sih.” ucapku.

“Ini apa?” tanya Annabeth seraya memerhatikan tiga foto yang dipajang berderet di dinding. Foto pertama adalah foto Kak Ricky, di bawahnya ada tulisan ‘our adorable son’, foto kedua adalah fotoku, dengan tulisan ‘lovely little Ress’ dan foto terakhir adalah foto Ren, di bawahnya ada tulisan,’adorable little princess,

“Dilihat sekilas juga tau kan?” aku balik bertanya. “Tapi…tulisan-tulisan itu ditulis oleh kedua orangtuaku.”

“Lalu, yang terakhir, di atas ada tiga kamar, satu kamarku, satu kamar milik Ren, dan satu kamar milik Kak Ricky. Di ujung sana ada dapur dan ruang makan. Ayo ke dapur, kakak-kakak sekalian sudah lapar ‘kan?” ucapku saat kami melintasi koridor lantai 4.

Aku menyajikan delapan porsi fettucini,”Silakan dinikmati makanannya. Jika sudah selesai, bisa ditaruh di kitchen sink, nanti akan dicucikan.”

“Wah, terima kasih!” ucap Alice dkk.

Aku hanya mengangguk.

“Oh ya, Anna, kamu mau ikut menginap di sini?” aku beralih pada Anna. Ya ampun, karena terlalu sibuk mengurus tur orientasi itu, aku nyaris melupakan Anna! Untung saja dia dengan sabar tetap mengikutiku…

“Oh, menginap ya? Boleh juga deh…” Anna tersenyum simpul.

“Ya sudah, mandi dulu ya, nanti aku ambilkan baju ganti!” ucapku.

Anna hanya mengangguk.

“Ress…?”

“Ya?” aku berbalik ke arah meja makan. Alice menatapku. “Ada apa?”

“Eh, itu…Aku mau tanya, kenapa kamu tidak memasang pohon natal?” tanya Alice.

Aku terdiam sejenak. “Memang kenapa kalau kami tidak memasang pohon itu? Keluargaku tidak merayakan sesuatu yang kekanakan begitu tau!” balasku. Aku kesal karena topik itu menyangkut hal yang sensitif. Ya, kami tidak seperti keluarga lainnya yang merayakan hari-hari spesial.

“Tapi, itu kan wajib…” Marianne berkomentar.

Aku menoleh ke arahnya, menatapnya marah,”Tidak ada yang mewajibkan memasang pohon natal! Tidak ada yang namanya perayaan di rumah ini!!” aku menyahut marah.

Alice dan Marianne sama-sama terdiam. Aku juga diam, dan kembali beralih pada Anna yang tampak agak kaget. ”Ayo, Anna, kita segera ke kamar tamu!” ucapku seraya menggandeng tangannya.

“Oh ya, Ress, kebetulan kami kebetulan mau mengerjakan tugas musim dingin kami. Nanti boleh pinjam ruangannya tidak?”

Aku berbalik ke arah meja makan, lagi. Kak Oswald menatapku. “Boleh saja sih, nanti pakai ruangan bermain saja ya.” aku berpesan.

“Haha, terima kasih,” Kak Oswald tersenyum.

Aku ikut tersenyum, kembali berbalik ke Anna dan mengantarnya ke kamar tamu. Setelah mengambilkannya baju ganti, aku langsung ke kamar, dan merebahkan diri di atas tempat tidur.

“Aku sangat lelah…” gumamku.

***

Ren POV

Aku bangkit karena mendengar pintu kamar Kak Ricky diketuk. Ya sejak kedatangan teman-teman Kak Ricky tadi, aku belum beranjak sedikit pun dari kamarnya karena ia meminta ditemani.

Sebuah kepala muncul dari balik pintu sebelum aku sempat membukakan pintu,“Hei, apa Kak Ricky sudah tidur?” tanya Ress.

Aku menggeleng. “Memang kenapa?” aku balik bertanya.

“Aku masuk ya.”

Aku mengangguk, dan membiarkan Ress masuk. Ress duduk di pinggiran tempat tidur Kak Ricky, dan beralih padaku. “Kak Ricky sakit ya?” tanyanya.

“Iya, sakit demam.” aku mengangguk.

Ress meraba kening Kak Ricky, dan berkata padaku,”Sepertinya demamnya cukup tinggi.”

“Memang demamnya tinggi. Ketika kuperiksa tadi, sudah sampai 39° Celcius. Pasti demamnya disebabkan kelelahan, kelelahan akibat terlalu lama bekerja..” ucapku.

Kelopak mata Kak Ricky terbuka sedikit. Ia tampak ingin mengucapkan sesuatu, tapi ia tetap diam.

“Makanya Kakak kalau kerja jangan berlebihan.” ucapku lagi.

Kak Ricky masih diam.

“Sudahlah Ren. Tidak ada gunanya menasehatinya sekarang.” malah Ress yang berkomentar. “Sekarang kita hanya perlu menemaninya saja kan?”

Aku menghela napas. ”Ya sudah, kalau kamu ke sini dengan niat mau menemani Kak Ricky sampai pagi, silakan lakukan. Aku mau keluar dulu.”

“Jangan buru-buru pergi begitu, ayo di sini dulu.” Ress buru-buru menarik tanganku.

Aku malah memperhatikan jendela kamar Kak Ricky yang tidak tertutup oleh gorden. Ress memperhatikan arah pandanganku. “Saljunya belum turun bukan? Kurasa besok pagi kita belum bisa bermain salju dan ice skate di halaman belakang.”

“Memang hanya ada salju sisa kemarin.” aku mengangguk.

Aku mendekati jendela, dan menyentuhkan telapak tanganku ke kaca jendela. Aku menatap keluar jendela, di mana kota London terlihat sangat indah karena ditemani cahaya dari lampu-lampu jalanan.

Karena kamar kami berada di lantai teratas, kami bisa dengan mudahnya mengamati kota. Aku sibuk memperhatikan Menara Big Ben yang terlihat menawan.

“Di luar sana dingin bukan? Namun orang-orang tetap saja pergi keluar.” ucap Ress. Ia berdiri di sebelahku, ikut menatap keluar.

Aku menatap Ress selama sepersekian detik. Ada sesuatu di matanya. “Ada apa?” tanyaku penasaran.

“…” Ress malah diam sambil tetap menatap keluar jendela.

“Kamu ingin membicarakan apa?” aku bertanya lagi.

“Kamu mau kubuatkan cokelat panas? Sepertinya enak jika sekarang kita minum cokelat.” Ress malah beranjak dari jendela, dan meraih teko pemanas air yang terletak di meja di ujung ruangan.

Aku memerhatikan Ress yang sedang menyiapkan mug. “Kamu yakin tidak mau bercerita apa pun padaku?” tanyaku. Aku beranjak untuk duduk di sofa.

Ress tetap diam. Ia mengangsurkan mug berisi cokelat panas padaku, lalu duduk di sampingku. Ia menunduk, menatap mugnya. “Aku hanya sedikit kepikiran tentang ucapan Alice tadi.”

“Ucapan tentang apa?” tanyaku.

“Bukan tentang apa-apa kok….” balas Ress.

Aku hanya mengangguk. Kalau ada ucapan teman yang bisa membuat Ress sampai melamun begini pasti bersangkutan dengan topik keluarga.

“Ya sudah, kalau begitu aku mau kembali ke kamarku dulu.” ucapku sambil bangkit berdiri.

“Kak Ricky sudah tidur?”

“Sepertinya begitu.”

“Kalau begitu, aku juga mau kembali ke kamar.”

Tepat ketika aku hendak menutup pintu, Kak Ricky malah beranjak bangun dari tempat tidur. “Kalian sudah mau istirahat?” tanyanya.

Aku dan Ress serempak mengangguk.

“Kalau begitu, di sini saja, temani aku tidur.” ucapnya lagi.

Aku langsung terkaget-kaget, karena, terakhir kami tidur bersama adalah sepuluh tahun yang lalu, saat aku dan Ress masih berusia empat tahun, sementara Kak Ricky sendiri berusia sebelas tahun. Memang biasanya kalau menginap di hotel kami tidur sekamar, tapi tetap tidak seranjang.

Ada tiga alasan mengapa kami tidak tidur seranjang. Pertama, karena aku benci tidur seranjang—karena menurutku hal itu sangat kekanakan—, kedua, karena Kak Ricky sudah terlalu besar untuk tidur bersama kedua adiknya ini, dan yang terakhir karena Ress juga malas melakukan hal itu. Intinya, kami kompak tidak suka tidur seranjang.

 “Tapi kan Kakak sudah besar, masa harus ditemani saat tidur?” tanya Ress.

“Bukan itu masalahnya.” balas Kak Ricky.

“Lalu…?”

“Intinya, aku mau ditemani kalian tidur, sekarang.” Kak Ricky mengacuhkan pertanyaan Ress.

Dengan agak ragu-ragu, aku dan Ress naik ke atas ranjang. Aku di sisi kiri ranjang, dan Ress di sisi kanan ranjang. Kami berdua mengambil posisi sejauh-jauhnya dari Kak Ricky. Biar saja, kita bertiga sudah terlalu besar untuk tidur bersama.

“Kalian ini kenapa sih? Ayolah, jangan malu-malu begitu. Kan kita sudah lama tidak tidur bersama.” ucap Kak Ricky. Aku menutup telingaku dengan bantal. Ucapan Kak Ricky tadi mirip dengan rajukan anak-anak.

“Kalian tega ya melihat kakaknya merana karena tidak ada adiknya yang mau menemaninya?”

Aku masih terdiam, begitu juga dengan Ress.

“Kalau kalian mau akan kubacakan buku. Kalian mau dibacakan cerita apa? Hm…baiklah, jangan cerita sebelum tidur…Bagaimana kalau Kakak menceritakan hal-hal tentang kalian saat kalian masih kecil?”

“Sudahlah Kak, Kakak mau cerita dari A sampai Z juga aku tidak akan tidur di samping Kakak.” ucapku ketus.

“Ya sudah, tidak apa-apa.” kalau dari nada suaranya, aku menebak-nebak, pasti Kak Ricky sedang tersenyum jahil,”Ya, aku mendadak ingat sewaktu kita sedang ke Jerman saat musim panas lima tahun yang lalu, apa kalian masih ingat…?”

Tidak ada respon. Aku menyahut ketus dalam hati,’Kalau masih ingat memang kenapa? Aku kan nggak pikunan!

Author : Lu emang nggak pikunan. Yang pikunan tuh kucingnya gue!

“Waktu itu, aku ingat sekali, ketika sedang pesan es krim, tiba-tiba ada orang yang menabrakmu sampai es krimmu jatuh Ren! Setelah itu, bukannya ditolong atau apa, kamu malah terpeleset kulit pisang! Apa kamu masih ingat?”

Aku masih terdiam dengan muka yang mendadak memerah, malu karena ingat kejadian itu. Waktu itu, bukannya menolongku atau apa, orang yang menabrakku malah menertawakanku saat aku jatuh. Menyebalkan sekali.

“Lalu, Ress, kamu masih ingat? Sewaktu kita ke Jepang, kamu sempat terpisah dari rombongan kita ‘kan? Lalu, kamu secara tidak sengaja menggandeng wanita yang mirip dengan Bibi Michael…Apa kamu masih ingat? Wanita itu malah pingsan saking kagetnya…”

“Kakak berisik!”

“Lalu, ada lagi saat kita mengunjungi Italia…”

“Agh, jangan diingat-ingat lagi!!”

“Waktu mengunjungi Italia, Ress kan…”

“Baiklah, baik! Kita akan menemani Kakak tidur deh!” ucapku putus asa. Tampak di sebelahku, Ress juga melakukan hal yang sama, dari pada Kak Ricky menceritakan lebih banyak lagi hal-hal memalukan semasa kami kecil.

“Nah, dari tadi begitu dong!” Kak Ricky tersenyum penuh kemenangan saat kami berdua menggeser posisi tidur kami. Tapi, tetap saja kami berdua tidak tidur berhadapan, melainkan tidur dengan posisi saling memunggungi.

“Eh, kenapa begini?”

“Eh, Ress? Ren?”

“Eh, Kakak masih mau cerita…”

Suasana di kamar lengang sejenak.

“Kalian ngambek ya? Padahal aku mau bilang kalau saljunya sudah turun!”

Aku langsung bangkit dari ranjang, dan bergegas menghampiri jendela yang tadi belum kututup gordennya. Benar saja, salju sudah turun dan mulai menumpuk di halaman.

“Sudah masuk tanggal 21 Desember…”

***

Author POV

Nah, sekali lagi…Kita bakal mulai ceritanya. Oh ya, ini sudut pandang aku, jadi jangan komplain kalo aku mendadak komentar di sini!

Ren terbangun saat jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Untung saja ini hari Sabtu, jadi ia tidak perlu pergi ke sekolah. Ia bangkit dari kasur dan bergegas keluar kamar. Di koridor menuju halaman belakang, ia bertemu dengan Anna.

“Eh, Anna? Kamu juga menginap di sini?” tanya Ren.

“Oh eh iya, kemarin Ress mengajakku juga.” jawab Anna.

“Mau lihat-lihat halaman belakang? Tunggu ya, kuambilkan mantel dan sepatu boot dulu…” ucap Ren sambil bergegas ke ruang tamu. Ia mengambil dua mantel yang tergantung di dinding dan dua sepatu boot, dan kembali bergegas ke koridor.

“Ini Anna! Pakai ya, di luar dingin!” ucap Ren sambil memberikan sepatu dan mantel itu pada Anna.

“Oh, makasih…” Anna tersenyum.

Selesai memakai sepatu boot dan mantel, mereka berdua pergi ke halaman belakang. Ren mengajak Anna untuk naik ayunan. Kebetulan, di ayunan itu ada kanopinya, sehingga tidak terkena salju.

Mereka berdua saling bercerita satu sama lain, hingga akhirnya Anna terdiam dengan wajah tertunduk. “Ada apa?” tanya Ren pada Anna.

“Sekarang tanggal 21 Desember kan…” Anna menggumam.

“Iya, memang kenapa?” Ren bertanya lagi.

“Sebenarnya aku bingung…”

“Bingung tentang apa?”

“Eh, hari ini hari Ibu…”

Gantian Ren yang terdiam.

“Eh, ada apa? Salah ya?” Anna menyadari topik pembicaraan sensitif, langsung terburu-buru minta maaf.

“Tidak apa.” Ren tersenyum lirih. “Ada apa jika hari ini hari Ibu?”

“Sebenarnya, aku sudah lama mau cerita hal ini kepadamu…”

“Ya…?”

“Aku tidak suka pada…”

“Odd Geng? Tenang saja, kelakuan mereka terhadap kamu sudah kulaporkan ke kepala sekolah, jadi sudah tidak ada masalah…”

“Bukan itu…”

“Lalu apa dong?”

“Di rumahku ada masalah. Hampir setiap hari Ayah dan Ibuku bertengkar. Aku tidak tau persis masalahnya apa, tapi yang jelas aku tidak suka melihat mereka bertengkar.”

“Terus…?”

“Gimana ya, aku mau berusaha mendamaikan mereka, tapi takut dianggap aneh atau ya…gimana ya? Intinya, aku nggak tau harus pakai cara apa untuk mendamaikan mereka berdua.”

“Jadi permasalahannya seperti itu, hmmm…Coba kupikirkan solusinya…” Ren bertopang dagu dan mulai berpikir.

“Eh, maaf ya, kamu jadi ikutan kepikiran…”

“Tidak apa-apa kok. Kebetulan aku sudah ada saran untukmu.” ucap Ren sambil tersenyum.

“Bagaimana caranya?” Anna bertanya.

“Kamu tulis surat saja.” balas Ren.

“Eh?”

“Iya kan? Coba pikir, kamu lebih bahagia saat mendapat e-mail atau surat?” Ren balas bertanya. “Surat itu, meski singkat dan sederhana, isinya bisa jadi istimewa bukan? Apa lagi jika dengan niatan untuk menyatukan keluarga kembali.”

“Benar juga ya, sepulang dari sini nanti aku mau mencobanya…” ucap Anna. “Terima kasih ya, Ren!”

“Sama-sama…”

***

Author POV

Anna memasuki rumahnya yang gelap, lalu kembali menutup pintu. Sepertinya tidak ada siapa pun di rumah. Ayah dan Ibu belum pulang ya?…batin Anna seraya menyimpan sepatu. Ia memandang secarik surat di tangannya, lalu menaruhnya di meja di ruang tamu. Dia terdiam cukup lama seraya memandang surat itu.

Tulisan yang tadi ia tulis di surat itu pendek, hanya terdiri dari satu paragraf,”Aku sayang pada Ayah dan Ibu. Kalian selalu bekerja dan memberikan yang terbaik padaku,. Terima kasih, Ayah dan Ibu. Aku harap kalian selalu rukun.”

Mendadak, terdengar bunyi mesin mobil dari depan rumah. Anna terburu-buru masuk ke kamarnya. Ia berdiri di balik pintu, jantungnya sedikit berdebar-debar karena ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Tak lama kemudian, terdengar lagi mesin mobil dari depan rumah. Anna yakin kalau kedua orangtuanya sudah pulang.

Beberapa menit berselang, pintu kamarnya diketuk,”Anna? Keluarlah, Nak.”

Anna membukakan pintu, dan mendapati Ayah-Ibunya sedang tersenyum di ambang pintu.

“Ada apa, Ayah, Ibu?” Anna bertanya.

Kedua orangtuanya langsung memeluknya. “Kami senang sekali kamu mengerti keadaan kami. Maafkan kami yang selama ini sering bertengkar satu sama lain.” ucap ayahnya.

Ibunya mengelus rambut Anna,“Sekarang, kami berjanji tidak akan bertengkar lagi, Anna. Terima kasih karena sudah mengerti keadaan kami,”

Anna balas memeluk kedua orangtuanya,“Aku sungguh sayang pada Ayah dan Ibu…” gumamnya.

   ***

“Kedua orangtuanya Anna sudah rukun kembali, syukurlah…” gumam Ren seraya turun dari jendela.

“Apa kau sudah selesai mengintip? Ayo kita kembali. Jangan sampai ketahuan kalau kau melakukan perbuatan aneh seperti itu.” ucap Ress. Ia menunggu di luar gerbang rumah Anna, menatap Ren yang kini sedang memanjat gerbang.

“Maaf deh, aku hanya ingin memastikan hal itu…” Ren tersenyum jahil. Ia melompat dari gerbang, lalu menghampiri Ress. “Ayo kita pulang!”

Ress mengangguk, dan tersenyum.

***

Moral : kita harus peduli dengan sekitar dan tidak boleh tidak peduli pada masalah keluarga.

Sampul Depan :

Sampul Belakang :

Sampul Depan :

Sampul Belakang :

Sampul Depan :

Sampul Belakang : liat ke atas

[CLOSED] Team Battle – Challenge Week 3 – Dystopia

THE SETTING

Bumi, tahun 2519. Lima puluh tahun setelah The Pulse, saat energi badai matahari terbesar menabrak atmosfir planet ini. Kerusakan lingkungan yang terjadi di bumi membuat pelindung radiasi kita bolong-bolong, sehingga badai tersebut langsung menghantam permukaan. Beberapa kota di daratan gosong terbakar. Terjadi gelombang kejut elektromagnetik yang mematikan seluruh perangkat elektronik dan komunikasi di seluruh dunia. Semua satelit rusak dan pembangkit tenaga listrik meledak, membuat bumi diselimuti gelap dan sunyi. Negara-negara tumbang, aksi jahat bersahut-sahutan.

Sebuah organisasi penjahat bernama POX menggerayangi CAPITOL, ibu kota negara MALACCA, yang sudah hampir kolaps karena bencana tersebut. Pemerintah Malacca sudah berusaha bangkit, namun kemajuannya bisa dibilang lambat. Hanya satu pembangkit tenaga listrik yang berhasil dihidupkan kembali, yang hanya cukup menerangi setengah kota Capitol pada malam hari, sehingga pemadaman bergilir dilakukan. Pemerintah juga sudah memuat Program Genecha, yang memisahkan semua anak dari orang tua mereka dan melatih mereka menjadi Saber, agen pemerintah berkekuatan super untuk membela negara. Mereka dipasangkan dengan saudara masing-masing dan ditempatkan di Komplek Besar Fortz, di pinggiran kota Capitol, dibentengi dengan pagar tinggi untuk mencegah akses masuk dan keluar.

Suatu malam POX mendobrak pertahanan komplek tersebut, meruntuhkan tembok dan memporak-porandakan fasilitas di sana. Semua agen Saber melarikan diri dari barak-barak dan gedung-gedung, berpencar di tengah kegelapan malam. Ini adalah cerita sekumpulan anak yang bebas dari cengkeraman pemerintah yang telah memenjara mereka di sana.

Bagaimana cara mereka kabur? Apa yang akan mereka hadapi? Apa yang akan mereka lakukan sekarang? Ke mana mereka akan pergi? Apakah keluarga mereka masih ada? Bisakah mereka berkumpul kembali dengan keluarganya?

HOW TO START THIS GAME

Step 1 – Senin 15 Juli 2019 – CONFETTI (challenge dari game master)

Kalau kamu memilih menulis cerita, buatlah perkenalan terhadap 2 orang karakter (kakak & adik, boleh kembar/tidak) untuk cerita kamu, minimal 1 paragraf. Sertakan kekuatan dan kelemahan masing-masing. Lalu tulis kisah bagaimana mereka kabur dari Komplek Fortz. Dalam perjalanan mereka harus bertemu dengan beberapa pasukan POX. Tuliskan kejadiannya.

Kalau kamu memilih gambar, buatlah gambar karakter tokoh atau latar belakang sekitar komplek Fortz.

Poin: +200/anggota tim yang berhasil mengumpulkan
Due: Rabu 17 Juli 2019, 23:59:59 WIB

Step 2 – Selasa 16 Juli 2019 – STORY BAZOOKA (challenge cerita dari kapten tim)

Kapten masing-masing tim memberikan challenge STORY pada tim lain, berupa apa yang harus mereka hadapi hari itu. Bisa berupa kesulitan tertentu, atau sekedar aktifitas sehari-hari, atau tempat yang harus dikunjungi, atau percakapan tentang sesuatu.

Misal: Tim Alpha memberi tantangan pada Tim Bravo: “Sudah dua hari kakak beradik itu kelaparan dan tidak punya uang. Ketika sedang mencari makan, si adik tertangkap pasukan POX. Tulis bagaimana kakaknya dapat menyelamatkannya.”

Atau: Tim Bravo memberi tantangan pada Tim Alpha: “Kedua saudara itu sampai di Pantai Tebing Tinggi. Mereka belum pernah ke pantai. Tulis kegiatan dan percakapan yang mereka lakukan di sana.”

Poin: +100/anggota tim yang berhasil mengumpulkan
Due: Kamis 18 Juli 2019, pukul 23:59:59 WIB

Step 3 – Kamis 18 Juli 2019 – STORY BAZOOKA (challenge cerita dari kapten tim)

Sama seperti Step 2. Berikan challenge STORY pada tim lawan berupa kesulitan yang para karakter hadapi hari itu, dengan catatan mereka bertemu karakter dari penulis lain (cross over). Penulis bebas memilih karakter dari tim sendiri atau dari tim lawan.

Contoh: Amanda punya karakter namanya Ami dan Ani, Cantika punya karakter namanya Eli dan Evan. Di cerita ini Ami, Ani, Eli, dan Evan ini harus bertemu dan bekerja sama.

Poin: +100/anggota tim yang berhasil mengumpulkan
Due: Sabtu 20 Juli 2019, pukul 23:59:59

Step 4 – Sabtu 20 Juli 2019 – ART BLASTER (challenge gambar dari kapten tim)

Kapten masing-masing tim memberikan challenge ART pada tim lain, yang berkaitan dengan cerita/setting game ini. Contoh: gambar saat karaktermu bersembunyi di hutan.

Poin: +100/anggota tim yang berhasil mengumpulkan
Due: Senin 22 Juli 2019, pukul 23:59:59

THE TEAM

Tim Alpha

KAPTEN:
Amanda (13), Tangsel, @marsmellowmozara – WRITER

PASUKAN:

Tim Bravo

KAPTEN:
Khalisa (14), Tangsel, @kshasie – WRITER/ARTIST

PASUKAN:

ANY QUESTIONS?
Silahkan tanya di sini 🙂

Challenge Week 3: Tugas 3 dan Team Battle Updates

Assalamualaikum teman-teman!

Selamat kembali ke sekolah yaa buat teman-teman yang hari ini masuk sekolah. Wahhh kelas yang baru, bertemu teman-teman yang baru. Pasti seruuu! Nanti ceritakan kisah hari pertama di sekolahmu yaa ehehehe…

Tugas 3

Kali ini kita masuk minggu ke 3, yang berarti saatnya mengerjakan tugas 3. Bila kamu sudah masuk sekolah, tentu waktumu jadi lebih terbatas. Silakan diskusikan dengan orang tuamu mengenai pengerjaan tugas, kira-kira kapan baiknya kamu menyisihkan waktu untuk mengerjakan proyek ini.

Setelah mengerjakan 2 tugas sebelumnya, tentu kamu sudah ada gambaran berapa total waktu yang kamu butuhkan untuk membuat 1 sampul. Mungkin 1 jam pertama untuk membuat ide cerita dan sketsa kasar sampul kamu. Lalu 1 jam di hari berikut untuk membuat ilustrasi sampul. Dan 1 jam di hari setelahnya untuk membuat layout sampul kamu. Atau mungkin 1 jam di hari Sabtu dan 2 jam di hari Minggu? Yah, pokoknya silahkan atur waktunya sesuai jadwal kegiatanmu yaa… ^^

Buat yang belum intip tugas 3, kamu bisa klik di sini untuk melihat deskripsi tugasnya.

Team Battle

Naah, berhubung para pasukan sudah mulai menerima misi dari Bu Guru di sekolah masing-masing, kemungkinan besar kehadiran pasukan berkurang, Kapten. Untuk itu bagi yang ingin tetap mengikuti Team Battle, tolong kirim pesan ke WA atau tulis komentar di sini untuk bilang kamu masih mau ikutan. Sertakan juga kira-kira kamu kapan bisa muncul di markas, supaya sang kapten nggak kebingungan pasukannya pada bolos apel pagi hehehe…

Misal nih, kamu cuma bisa ikut Team Battle di hari Sabtu & Minggu, tulis saja: Sari / Sabtu jam 18-19 malam & Minggu jam 8-9 pagi. Kalau anggota tim ngga balance, nanti kita ubah peraturan atau pembagian timnya.

Kalaupun kamu tidak bisa ikut Team Battle, jangan khawatir, kamu tetap bisa menambah poin untuk tim masing-masing dari tugas yang kamu kerjakan ^^

Scoreboard

Update team scoreboard di awal minggu ketiga:

Tim Merah: 14.835

Tim Biru: 13.840

Congrats buat Tim Merah! Saya lihat sepertinya Tim Biru kekurangan pasukan yang mengumpulkan tugas yaa… banyak yang tidak aktif di Tim Biru. Nanti saya atur lagi pembagian timnya biar imbang 🙂

Untuk Petugas Patroli belum ditentukan ya teman-teman, menunggu konfirmasi siapa saja yang mau ikutan ^^

Oke sepertinya sekian dulu info terbaru proyek kita. Selamat mengerjakan & semoga sukses!

[CLOSED] Team Battle – Story Bazooka untuk Tim Biru

Kata kunci: Misteri Danau Nessie (cerita tentang orang yang bertemu dengan Nessie dan meminta orang lain menyelidikinya)

Tipe: Menulis
Batas waktu: Senin 15 Juli 2019 pukul 12:00:00 (siang)
Poin: 30 poin untuk 1 anggota Tim Biru yang pertama kali menjawab

Ganbatte~ 🎶
*Red Team Patrol Officer*

Challenge Week 2: Tugas 2, Fast Track, dan Team Battle Updates

Assalamualaikum teman-teman!

Memasuki minggu kedua dari tantangan jelajah sampul Cerivitas, ternyata ada beberapa info terbaru, termasuk Team Battle kita yang sudah mulai memanas hehehe…

Tugas 2

Terima kasih buat kamu yang sudah mengumpulkan Tugas 1! Sepertinya sudah mulai ada gambaran yaa bagaimana cara mengerjakan tugasnya. Memang pada awalnya mungkin terasa sulit, tapi dengan terus berlatih, kamu akan bisa membuat sampul lebih baik dan lebih cepat lagi.

Di minggu kedua ini kita akan mulai mengerjakan Tugas 2. Bagi yang belum ngintip, silahkan klik di sini untuk melihat deskripsi tugasnya.

Fast Track

Buat kamu yang sudah mengerjakan tugas 2 dan ingin mengerjakan tugas 3 di awal, kamu bisa lihat deskripsi tugas 3 di sini. Untuk membuka halaman tersebut kamu butuh password yang bisa kamu dapatkan di halaman Spoiler Tugas.

Team Battle

Scoreboard

Karena kedua tim berhasil menangkis seluruh serangan dan sudah terlibat aktif dalam Team Battle, kedua tim mendapat combat bonus sebanyak 400 poin. Dengan demikian score sementara Tim Merah vs Tim Biru saat ini adalah…

Tim Merah: 9380

Tim Biru: 9010

Congrats buat Tim Merah! Buat Tim Biru jangan khawatir, masih ada kesempatan menambah score. Ini cuma beda ~400 poin lho, kamu bisa dengan mudah mengejarnya dengan menangkis 2 serangan Confetti 😉

Cara menyerang tim lawan

Nah, untuk selanjutnya, supaya lebih mudah ditelusuri, serangan pada Team Battle harus ditulis pada pos baru, ya. Buat pos baru seperti waktu kamu mau mengumpulkan tugas. Bedanya di Kategori saja.

  • Kamu pilih Kategori: Team Battle.
  • Lalu bila kamu menyerang tim merah, tulis Tags: Tim Merah. Atau bila kamu menyerang tim biru, tulis Tags: Tim Biru. Kalau tidak memakai cara ini atau salah tulis kategori dan tags, serangannya dianggap batal yaa..
  • Tulis judul pos: Team Battle: Nama serangan untuk tim apa. Misal: Team Battle: Story Bazooka untuk Tim Merah.
  • Tulis kata kunci dan batas waktu pengumpulan di dalam pos kamu.

Contohnya bisa kamu lihat pada serangan Confetti yang saya berikan 😉

Password halaman Markas

Atas permintaan beberapa anak yang ingin diskusi timnya dibuat rahasia dan tidak bisa diintip oleh tim lawan, Markas Tim Merah dan Markas Tim Biru nanti akan saya kasih password. Tunggu passwordnya nanti akan saya kasih via WA yaa ^^

Petugas Patroli

Untuk minggu ini petugas patroli kita sudah berganti ya teman-teman. Berikut nama petugas patroli untuk minggu kedua (8 Juli – 14 Juli 2019).

Tim Merah

Kapten: Amanda

Petugas: Alexa, Davi, Gwen

Tim Biru

Kapten: Khalisa

Petugas: Namira, Aila, Binar

Selamat bertugas~

Ok sepertinya sudah cukup banyak info pengumumannya ya hehehe… selamat mengerjakan tugas, semoga sukses 😉