Tema: Profesi
Petunjuk gambar: Dokter, putih, coklat
Petunjuk Cerita: Dokter
Judul buku: Hadiah Terbaik
Nama penulis: Dzakiyyah Jaihan
Sampul depan:

Sampul belakang:

Punggung Buku:

Cerita:
Hadiah terbaik
Matahari menampakkan diri, tak segan menyebarkan cahayanya. Sebagian cahaya itu menyentuh permukaan tanah, sebagiannya lagi menyentuh pucuk-pucuk pohon di hutan, sebagiannya lagi berhasil menembus kemah petualang sehingga membuat cahaya bergradasi. Sebagian cahaya itu dengan senang hati membelai kain jemuran yang basah, dan sebagian cahaya itu berhasil menghangatkan tubuh lembut dan tubuh perkasa, sampai kedua tubuh itu megeluarkan setetes demisetetes air.
Pohon-pohon mulai berbuah yang banyak. Beberapa buah tampak masih berbentuk bakal, beberapa lagi sudah membentuk buah muda, dan beberapa lagi tampaknya sudah matang. Bau manis buah matang itu menyebar kemana-kemana, ahh.. sedap… Hewan maupun Manusia berebut untuk memetik buah yang meneteskan air liur itu. Betapa tidak! Musim buah hanya sekali sampai tiga kali setahun. Meskipun diwaktu lain berbuah juga, tapi buahnya tak sebanyak di musim buah dan buahnya pun tak semanis sekarang ini. Bagi sekolah Petualang, saat ini adalah musim emas. Karena sebelumnya tidak ada musim buah yang buahnya semanis sekarang ini.
“Woii..!” Panggil Amer. Semua mengerumuninya.
“Lihat, banyakkan aku dapat buah..!” Harun berseru riang, dia meraih satu buah di dalam keranjang.
“Kalian berdua yang metik?” Tanya Amaroh ikutan meraih buah di dalam keranjang, tapi tanggannya berhasil dicegah Amer.
“Iya.” Jawab Amer ketus.
Aulia segera mengambil buah mangga dari keranjang biru itu. “Minta mangga satu..!” Serunya yang sudah tak tahan melihat buah mangga manis itu.
Hap! Tangannya dicegah Harun. Harun mentapnya tajam. “Enak saja! Metik sendiri dong..!”
Aulia menarik kembali tangannya. Sedangkan Harun dan Amer segera pergi menuju tepi lapangan, menikmati semua buah-buah manis itu. yang lain hanya bisa meneteskan air liur.
“Eh, Yazid. Kamu petik ya buahnya. Ya, ya, ya..!” Thalha memohon sambil memelas pada Yazid.
“Nanti aku yang metik tapi kalian yang makan.” Kata Yazid jengkel.
“Kamu kan juga ada makan.” Kata Asad menyikut Yazid.
“Mana banyak aku makan dengan kalian?” Tanya Yazid melotot, dia menatap jengkel Nazira. Nazira hanya tersipu, jelas-jelas dia yang banyak makan.
“Iya, iya. Nanti jika buahnya habis, kami lagi yang metik.” Kata Nazira meyakinkan.
“Benar, nih?” Yazid bertanya serius. Nazira mengangguk mantap, jarang mereka damai seperti ini.
“Ya, udah. Kalian bersiap dari bawah pohon.” Kata Yazid segera pergi ke pohon Mangga yang berbuah lebat. Lalu dia memanjatinya.
“Ingat! Jangan ada yang makan dulu sebelum aku turun.” Kata Yazid memperingati. Yang lain mengangguk setuju. Ini seperti perjanjian dengan TJPM saja.
Yazid mulai beraksi. Dengan lincah dia memanjati pohon mangga yang ada di tengah lapangan. Berjalan di dahan pohon yang bergoyang seakan berjalan di tanah saja olehnya. Cekatan dia memetik buah, lalu melemparnya tiba-tiba tanpa mengabari, membuat semua orang kaget dan mengejar buah-buah yang jatuh.
“Oi, Yazid! Kau tak bisa pelan?” Logat bahasa asli Aulia keluar. Yazid hanya nyengir, kan sudah aku bilang siap-siap di bawah pohon tadi, mungkin begitu pikirnya.
Satu jam setelah memanjati beberapa pohon dan memetik banyak buah, Yazid pun turun dari pohon. Pas sekali ketika kakinya menyentuh tanah, buah-buahan itu lansung diserbu. Yazid hanya bisa memandang jengkel dan sebal. Dia segera mengambil bagiannya. Eh, nggak terasa baru satu menit buah-buah itu lansung habis ludes. Metiknya lama sampai satu jam, makannya sebentar hanya satu menit.
“Yah, sudah habis.” Keluh Aulia. “Siapa nih yang congok?”
“Nggak ada yang congok Au..! Memang buahnya yang nggak cukup buat kita semua.” Jawab Nazira menenangkan.
“Lalu sipa yang mau metik lagi?” Tanya Laila menatap teman-temannya.
“Anak jantan lah..” Jawab Aulia sembari menunjuk anak laki-laki.
“Bah! Kami lagi! Kami banting tulang metik, terus kalian santap dengan santai seperti noni-noni belanda.” Kata Asad degan jengkel menolak.
“Kami nggak mau metik. Gantian dong metiknya..! giliran kalian sekarang yang metik.” Tanpa rencana anak laki-laki kompak bicara.
Anak perempuan saling tatap, bingung. Nasib mereka jika tak ada yang metik, itu artinya mereka juga tak bisa menikmati buah.
“Nazira, kamu yang metik ya..” Kata Aulia menjawil tangan Nazira.
Nazira menatapnya. “Yang lain saja. Aku terus yang metik dari anak perempuan, macam Tarzanah saja.”
“Tarzanah? Baru kali ini aku dengar.” Kata Haura tertawa geli.
“Nggak mungkin Tarzan, itu buat laki-laki.” Nazira menjawab polos.
“Oya! Aku punya ide. Bagaimana jika yang belum pernah metik buah di sekolah petualang saja yang metik?” Tanya Nazira memberi usulan. Semua mengangguk setuju, hanya Laila yang ragu setuju.
“Syifa!” Tunjuk Nazira tertawa menjahili. Syifa tak menyangka ditunjuk secepat itu, dia mulai memikir.
“Aku pernah metik!” Syifa buru-buru menjawab.
“Di sekolah petualang?” Tanya Nazira. Syifa mengangguk. Nazira mengangkat mulut bawahnya, jelas dia tak percaya.
“Kapan?” Tanya Nazira.
“Waktu kita lagi di pohon rambutan.” Jawab Syifa.
Nazira terus mencari orang yang belum pernah memetik buah, tapi semuanya sudah pernah memetik meski sekali. Akhirnya ketemu lah orang yang tak pernah memetik buah di sekolah Petualang sama sekali. Laila. ya, Laila. Dia lah yang belum pernah memetik buah di sekolah petualang sama sekali. Dia tidak ahli dalam manjat memanjat, dia juga tak punya pengalaman memanjat pohon yang tinggi. Dia tidak pernah memanjat pohon yang tinggi. memetik pernah, tapi tidak dengan memanjat. Laila memetik dengan kayu.
“Tapi aku nggak pernah metik dengan memanjat.” Laila mengeluh, wajahnya tertunduk.
“Yee, mau pernah mau nggak pernah, harus dilaksanakan.” Kata Humairoh cengesan.
Laila pun menurut. Dia segera menghampiri pohon kelengkeng yang tak kalah banyak buahnya. Pohon itu cukup tinggi dan akan sangat sulit buat Laila untuk memanjatinya. Tapi bau khas kelengkeng memang lah sangat menggoda. Laila segera memanjati pohon itu. Uhh… Sulit sekali. Begitu maksud ekspresi wajah sebalnya. Untung saja dia memakai RokCel (Rok Celana), sehingga bisa memudahkan gerakannya.
Semua orang tertawa melihat gerakannya yang tidak terbiasa dalam manjat memanjat, termasuk anak laki-laki dari kejahuan. Kaki Laila seperti mau menaiki tangga saja, sehingga menarik perhatian semua orang. Kapten, Letnan, Jenderal, dan anak laki-laki menghampiri pohon kelengkeng yang dipanjat Laila. Kini Laila seperti pertunjukan anak bayi saja, atau monyet yang memanjat pohon dengan lucu.
Plak! Belum satu meter Laila sudah terjatuh.
“Aduuhh..” Laila mengaduh pendek, semua orang tertawa.
Laila tak menyerah, dipanjatinya lagi pohon kelengkeng itu. beberapa kali dia terjatuh, tapi Laila pantang menyerah. Ketika memanjat untuk keempat kalinya, Laila berhasil karena semangat dan usaha yang tinggi. semua bertepuk tangan.
“Cepat sekali Laila naik tah-tah..!” Yazid pura-pura kagum, kalian tahu lah tujuannya apa.
Laila terus memanjat dengan cepat. Semua orang menyemangatinya. Suara gemuruh di mana-mana.
“Laila, Laila, Laila!!” Seperti ada perlombaan 17 Agustus saja.
Laila meraih dahan pohon yang ada di atas kepalanya, memegang kuat, lalu menaiki dahan itu. Laila duduk sebentar di dahan kokoh yang baru saja dinaikinya. Buah-buah kelengkeng yang bergelantungan membuatnya tak sabar untuk memetik. Laila melanjutkan lagi, dia mulai memetik.
Hap, hap! Banyak sekali kumpulan buah kelengkeng batang yang dipetiknya. Tapi semua kurang besar, kelengkeng yang besar-besar ada di ujung ranting dan dahan. Tapi itu pasti sulit untuk mengambilnya. Ah, kelengkengnya besarnya gitu-gitu aja. Jika Yazid, Asad, Nazira, atau anak laki-laki yang memetik, pasti dapet buah yang besar-besar.
Bosan sekali mereka yang di bawah mendapatkan buah yang kecil-kecil. Laila pun sebenarnya bosan juga. Tapi dia takut jatuh jika pergi ke ujung dahan.
“Lai! Coba ambil yang di ujung dahan lah..! Bosan orang di bawah!” Yazid berteriak lantang, semua orang memandangnya. Berani sekali Yazid mengatakan hal itu, sambil teriak pula, pikir mereka.
Tapi Laila hanya mengagguk. Dia memberanikan diri untuk merayap ke ujung dahan. Laila merayap seperti anak kecil, membuat semua orang tertawa kembali. Sampai lah dia di ujung dahan yang buahnya besar-besar dan banyak. Laila memetik sambil tengkurap di dahan pohon, dia takut jatuh.
“Di atas, Lai!” Seru Nazira dengan kedua tangan tertangkup di sudut bibir.
Laila mengangguk menuruti, lalu segera berdiri dengan hati-hati. Tangannya terbentang di udara, berusaha menyeimbangkan badannya. Setelah yakin telah seimbang, Laila pun menurunkan tangannya. Dia mengangkat tanga kanannya dengan hati-hati, ingin memetik buah kelengkeng di atas kepalanya.
Tapi…
Belum sempat dia memetik kelengkeng itu, tubuhnya bergoyang tak karuan. Keseimbangannya hilang tanpa sebab. Orang-orang yang tadi bersorak berubah menjadi panik, bagaimana ini? Yang paling panik kapten, jangan sampai Laila celaka hanya karena memetik buah.
“Huaaa..!” Laila terkejut manakala badannya terpleset.
Prak, prak, prak…
Laila terhentak ke beberapa dahan. Lalu….
Brak..!
Suara itu terdengar mengerikan. Sampai di permukaan tanah kepala Laila terbentur akar pohon kelengkeng yang keras. Memang tidak berdarah, tapi membiru lebam. Kakinya tampak seperti tak bertulang, mungkin patah. Kaki Laila juga mengeluarkan banyak darah. Laila antara sadar dan tak sadarkan diri. Dia tidak menangis ataupun mengaduh, dia sudah takberdaya lagi. Wajah cantiknya! Keningnya tergores, pipi kanannya lebam, bibirnya berdarah, dan pelipis kirinya tergores kuat, sehingga mengeluarkan banyak darah.
Semua menatap ngeri ke arah Laila. Mengapa di hari kemerdekaan ini harus ada kesedihan? Mengapa di hari merdeka ada darah yang tumpah juga? Ada yang bersedih juga? Ada yang tak berdaya juga? Itu lah pertanyaan mereka semua.
“Cepat gotong dia ke UKS!” Kapten memerintah dengan lantang, dia melambaikan tangannya.
Tiga Letnan maju membantu kapten menggotong Laila. Mereka membawa Laila ke UKS. Petualang dan para Jendral mengikuti. Jendral Jilan segera membuka pintu UKS. Kapten dan tiga letnan itu membaringkan Laila di Bed pasien.
“Kalian semua keluar.” Perintah jendral Jilan, Yang lain hanya menuruti. Tinggal lah petugas UKS.
Mereka memeriksa Laila. Kepala Laila tidak bisa mereka sembuhkan, peralatan tidak memadai. Kaki Laila juga tidak bisa, mereka tidak ahli dalam tulang dan saraf, mereka hanya memperban kaki Laila. Mereka hanya mengobati luka-luka ringan di badan Laila. Goresan di kening dan di pelipis kanannya diberi Alkohol, lalu dilumuri Betadine. Pipinya dikompres, lalu di olesi dengan Zambuk. Bibirnya yang berdarah diberi minyak zaitun.
Petugas UKS keluar setelah mengobati luka Laila (kecuali kepala dan kaki). Baru saja membuka pintu, semua lansung bangkit mendekati petugas UKS.
“Bagaimana keaadaannya?” Tanya kapten Zoo memandangi petugas UKS serius, kini bukan serius lagi, tapi amat serius sekali.
“Kepala dan kakinya parah, kami tidak bisa mengobati. Peralatan di sini tidak memadai dan kami juga tidak ahli mengobati luka parah.” Jawab jendral Jilan menatap Laila iba.
“Orangtuanya sudah dihubungi?” Tanya jendral Ayu serius.
Kapten Zoo menggeleng. “Kita tunggu kepala dan kakinya diobati, baru lah kita hubungi orangtuanya.” Jawab kapten Zoo, kepalanya sudah pening.
“Kita tidak boleh membebankan orangtuanya, kita yang harus bertanggung jawab. Tak ada gunanya jika kita tidak menyelesaikan keaadaan yang terjadi di area kita, jangan seperti anak kecil yang bergantung terus ke orang lain.” Jelas kapten sambil bersedekap. Semua mengangguk menyimak.
“Coba hubungi dokter rumah sakit kapten, suruh kesini.” Ah, Yazid! Ngomongnya enteng saja. Emang semudah itu…!?
“Oi! Bawa saja Laila ke rumah sakit.” Nazira menyikut Yazid, usul Nazira disambut dengan gelengan Yazid.
“Bisa tercekik kita. Bawa ke rumah sakit, nanti ceritanya jadi panjang. Suruh nginap lah, suruh pakai ini lah, suruh beli ini lah, suru urus ini lah. Lebih baik panggil dokter kesini. Bawa ke rumah sakit emang nggak pake kendaraan? Mau pake kendaraan apa? Di sini nggak ada mobil. Lagian kalau ada keadaan sekarang sedang darurat, harus pake Ambulance.” Jelas Yazid, perkataannya berbeda 180 derajat dari biasanya. Sekarang Yazid sangat serius.
Kapten mengangguk setuju dengan Yazid, memanggil dokter. kapten mengeluarkan ponselnya, lalu mengetik nomor telepon seorang dokter.
Taninung, taninung, taninung…..
Ponsel kapten bersuara kencang.
Tlit..
Panggilan itu dijawab.
“Halo.” Sapa kapten.
“Halo..!” Seseorang di seberang sana balas menyapa.
“Bisa kesini kak? Ada anak yang terluka parah, darurat.” Tanya kapten Zoo penuh harapan.
“Wadooh, maap lah Zoo. Bukannya aku tak mau bantu kau. Tapi aku lagi ada kerja di Bangkinang, nanti malam aku baru balek.” Jawab ibu yang dihubungi dengan logat bahasa khas melayu.
“Tak apa lah kak.” Kata kapten Zoo, lalu memutuskan panggilan.
Kapten Zoo menelpon lagi, tapi sia-sia. Sebagian sibuk dan sebagian lagi tak menjawab panggilan. Ah, dokter memang kerjanya sibuk terus. Tak ada lagi harapan untuk Laila, tapi apakah akan berhenti sampai di sini?
“Bagaimana kapten?” Tanya Haura, wajahnya cemas.
Kapten melambaikan tangan. Ya begitu lah. Lalu kapten Zoo pergi ke kantornya. Semua saling tatap tak mengerti. Apa Laila akan dibiarkan begitu saja? Apa mereka akan menunggu Laila meninggal?
~~~
Kapten duduk di kursi sofanya. Kepalanya pening sekali memkirkan nasib muridnya. Ini kejadian pertama yang menegangkan. Semua orang tentu meminta pertanggung jawabannya, apa lah nanti kata wali murid, bisa jadi tahun esok sekolah Petualang tak bermurid. Dia harus mencari jalan keluar, tapi bagaimana caranya?
Kapten Zoo menatap fotonya yang sedang berdiri di deretan saudara laki-lakinya, itu foto dia ketika sedang menghadiri wisuda keponakannya. Di bagian tengah terdapat keponakannya dengan menggunakan baju dan topi wisuda, di bagian pinggir sebelah kiri terdapat deretan ibu-ibu, dan deretan sebelah kanan terdapat deretan laki-laki, kapten Zoo termasuk di dalamnya.
Kapten Zoo tersenyum kecil, mengingat masa lalunya. Keponakan perempuannya itu menghabiskan masa kecil dan masa mudanya di rumah kapten Zoo sendiri. Orangtuanya sibuk bekerja, mereka tidak memiliki banyak waktu bersama anak mereka. Kapten Zoo bersedia menjaga dan merawat anak mereka. Setiap hari keponakannya itu ke rumah kapten Zoo, dari pagi hingga sehabis magrib. Meskipun sudah besar, keponakannya itu selalu bermain di rumahnya. Terkadang keponakannya ikutan masak bersama istri kapten Zoo, terkadang membantu pekerjaan rumah dengan senang hati. Kapten Zoo dan istrinya sangat menyayangi keponakannya itu, mungkin karena mereka tidak memiliki anak perempuan.
Kapten Zoo tersenyum lebar mengingat masa lalunya. Kini keponakannya itu telah sukses, lulus dari Universitas Gajah Mada. Dan kini keponakannya bekerja di Aulia Hospital, bekerja menjadi dokter umum dan…..
Tiba-tiba kapten Zoo tersenyum lebar sekali. Dia mengeluarkan ponselnya lagi. menelpon seseorang lagi, mungkin dokter juga.
Taninung, taninung, taninung….. taninung, tanin…
Tlit..
“Assalamualaikum.” Sapa Kapten Zoo.
“Waalaikumussalam. Ada apa man?” Di seberang sana seorang dokter muslimah, cantik dan muda bertanya.
“Kamu bisa ke sini, Lala?” Tanya kapten Zoo.
“Emm…” Dokter itu sepertinya memikir.
“Bisa. Lala kan cuti sebulan ini, cuti dokter baru, hehehe…” Jawab dokter itu.
Kapten Zoo merasa senang. “Kalau begituke sini sekarang ya.. Darurat.”
“Emang ada apa paman Zoo?” Tanya dokter itu.
“Di sekolah Petualang seorang anak berumur sepuluh atau sebelas tahun jatuh dari pohon. Sekarang keaadaannya sedang kritis.” Jawab kapten Zoo dengan nada khawatir.
“Innalillahi…” Sahut dokter itu.
“Ya sudah, sekarang Lala kesana ya, man.” Kata dokter itu.
“Oya jangan lupa siapkan Ikan kuah darah, ya man..” Lanjut sang dokter, ah sama saja dengan kapten Zoo suka becanda.
~~~
Tiiit, tiit…
Terdengar bunyi klakson mobil. Mobil itu menjadi perhatian para petualang, letnan, dan jendral. Mobil siapa itu? Orangtuanya Laila? Tapi itu mobil Livina, bukan mobil orangtuanya Laila. Seseorang keluar dari mobil itu, pengendaranya. Seorang perempuan berjilbab memakai kemeja dokter yang bewarna putih. Dokter muda, muslimah, dan cantik. Dokter? semua terperangah. Mereka tidak menelpon dokter lagi.
“Assalamualaikum.” Sapa dokter itu.
“Waalaikumussalam.” Semua menjawab salam dokter muda itu.
“Cepat juga kamu datang, Lala.” Tiba-tiba terdengar suara kapten. Dokter itu hanya tersipu.
“Jadi kapten yang menghubungi dokter ini?” Tanya Nazira tak sabaran.
“Iya, ini keponakan saya, namanya Lala.” Kapten memperkenalkan dokter itu. Dokter itu tersenyum hingga gigi serinya tampak.
“Mana yang sakit itu paman? Ikan darahnya nanti saja.” Tanya dokter Lala serius.
Kapten Zoo pun pergi ke UKS, yang lain mengikuti, termasuk dokter Lala. Kapten Zoo membuka pintu UKS. Terlihat Laila yang masih terbaring di bed pasien, keadaannya menyedihkan sekali. Dokter Lala begitu terkejut melihat keadaan Laila. Dia mengeluarkan stetoskop dari kopernya. Memeriksa jantung Laila. Lalu dia memencet sedikit. Iuuu… darahnya makin banyak keluar. Itu seharusnya menjadi pemandangan yang mengerikan, tapi yang namanya petualang Hitam Merah Putih berdarah berani dan kuat, mereka hanya bisa memejamkan mata. Ah, dokter Lala malah mangguk-mangguk.
“Kakinya patah.” Dua kata itu bagaikan petir di siang bolong.
“Lalu?” Tanya kapten Zoo.
“Lala akan coba obati.” Jawab dokter Lala. Kapten Zoo mengangguk puas.
“Kepalanya bagaimana tante..?” Tanya Yazid menarik-narik kemeja dokter Lala, dokter Lala hanya tersenyum.
“Tunggu diperiksa dulu lah pak..” Dokter Lala menjawab sambil menambahi sedikit bumbu gurauan. Semua tertawa, sedangkan Yazid malah garuk-garuk kepalanya sendiri.
“Dokter sama saja dengan kapten Zoo, suka bergurau.” Aulia sama saja dengan ibu-ibu, sok tahu.
“Kan ini mah anak angkat kapten Zoo.” Kata dokter Lala menepuk-nepuk dadanya.
Lalu dokter Lala pergi ke mobilnya, mengambil sesuatu. Itu adalah mesin… ah, apa lah namanya. Itu mesinnya buat periksa kesehatan bagian dalam, buat medis. Begitu saja penjelasan dokter Lala. Ah, zaman sekarang emang canggih. Ada WA, Facebook. Untuk sekolah pakai Ruang guru, untuk les elektro pakai @Cerivitas kak Sari ~Jaihan~ ^0^.
Dokter Lala memerintahkan agar semua orang keluar. Ya… Semua orang kecewa. Mau bagaimana lagi? Perintah dokter muda. Dokter Lala memulai aksinya. Cekatan dia memasang selang mesin untuk memeriksa pasien ke kepala Laila. Tinut, tinut, tinut. Hasilnya keluar di layar mesin itu. Apa lah maksud dari garis zig-zag merah dan angka juga huruf besar kecil itu? Hanya dokter yang tahu.
Dokter Lala mulai mengobati Laila. Pertama-tama, dia membedah kaki Laila. Memperbaiki posisi tulang dan lainnya. Lalu menjahit kembali kaki Laila dan memperbanya dengan perban yang bagus. Kaki Laila juga di lumurinya semacam obat. Lalu kepala Laila, dia membedah juga. memperbaiki tulang kepala yang sedikit keluar dari posisi. Lalu memasukkan berbagai obat dan cairan kedal kepala Laila. Setelah itu dia menjahit kembali kepala Laila. Dia sudah macam montir saja. Keringatnya sudah mulai keluar, maklum saja. Meskipun ruangan UKS ber AC, dia tetap merasa panas. Ini kan pengalaman pertamanya menangani orang yang terluka parah. Sebelumnya dokter Lala menangani pasien hanya dengan memberikan obat (Namanya dokter baru dan masih muda Jaihan..!!).
Selesai sudah kerjanya. Eits.. belum… (Jangan bosan ya Guys…^v^). Dokter Lala memasang kemabali selang-selang, ada yang ingin diperiksanya lagi. Dia mengetik sesuatu (Ini dokter apa penulis sih..?). Lalu dia memasukkan beberapa cairan kedalam mesin, dia memasukkan cairan itu kedalam sebuah lubang yang ada pada mesin itu. Ahhh… ajaib!! Mesinnya nggak rusak (Ihh.. Jaihan pura-pura nggak tahu nich..). Perlahan-lahan cairan itu masuk kedalam badan Laila lewat selang tadi.
~~~
Sliiit….top.
Dokter Lala keluar dari ruangan UKS. Wajahnya berseri-seri bagai cahaya. Semua orang ikut berseri, mereka tahu, ada kabar gembira.
“Alhamdulillah. Kepalanya sudah saya obati. Kakinya mengalami patah, tidak terlalu parah, saraf dan tulangnya sedikit melemah. Tiga atau empat hari lagi kakinya sudah bisa bergerak. Saya sudah bantu memperkuat tulang kaki dan kepalanya.” Jelas dokter Lala mengabari, disambut dengan rasa senang petualang.
“Tapi kakinya akan sedikit pincang untuk sementara.” Lanjut dokter Lala mengabarkan kabar buruknya.
“Hal itu sampai berapa bulan?” Tanya Yazid sok dewasa.
“Mungkin tiga bulan. Makanya jangan diganggu selangnya..” Jawab dokter Lala sembari mencubit dagu Yazid, Yazid menggosok dagunya yang dicubit.
“Dokter…” Panggil Haura mendekati dokter Lala.
Dokter Lala menatap Haura tersenyum. “Ada apa?”
“Boleh kami melihat?” Haura balik bertanya, tangannya menunjuk Laila yang tengah terbaring (Laila masih pingsan).
“Mengapa tidak boleh? Kau kan temannya.” Jawab dokter Lala. Haura mendengus, tadi saja dokter Lala suruh keluar.
Mereka masuk. Laila terbaring, kakinya dibalut perban dan dipasang selang. Kepalanya juga dibalut perban dan banyak sekali selang yang dipasang, mungkin lima atau enam atau tujuh atau…. bla,bla..
Laila masih belum sadar, lama sekali dia sadar. Petualang mulai bubar, melakukan aktivitas seperti hari-hari biasa. Hanya ada dokter Lala di UKS, dia menemani Laila. Oi, dokter Lala emang dokter yang baik. Berangsur-angsur garis zig-zag merah berubah menjadi kuning, angka-angka di layar mesin berubah menjadi rendah, dan hurufnya juga berubah, seperti G menjadi E. Senyum lebar mulai tergambar di wajah dokter Lala. Dia mengusap kepala Laila.
Hari mulai senja, langit begitu indah dihiasi warna oren kemerah-merahan……
Gelap seperti ruangan tak berlampu, hitam seperti rambut, dan luas seperti lapangan. Laila perlahan membuka matanya. Semua buram dan tak jelas. Dunia ini seperti berputar kencang. Auuu.. Laila merasakan sakit pada kepalanya. Dia menggeser kakinya sedikit. Uuuhh… Rasanya tumpul sekali dan sedikit sakit. Perlahan-lahan pandangannya mulai normal, tidak lagi kabur. Orang yang pertama dilihatnya setelah sadar adalah dokter Lala.
Laila Bingung, dia mencoba untuk mengingat hal yang terjadi. Bukankah tadi dia berada di atas pohon? Hendak memetik buah di ujung dahan? Lalu dahan itu bergoyang dan dia jatuh? Setelah itu dia tidak tahu kemana pandangannya, antara sadar dan tak sadar. Lalu? Apa yang terjadi pada dirinya? Dia berada di Rumah sakit? Lalu apa selang-selang ini? Seperti selang infus. Mengapa kepalanya sakit? Apa kepalanya terbentur? Ada apa dengan kakinya? Susah sekali digerakkan. Mengapa kaki dan kepalanya diperban? Ada apa dengan dirinya? Siapa perempuan ini? Berbaju putih? Dokter? Mana teman-temannya? Mana kapten Zoo? Mana para letnan? Mana Jenderal? Mana mereka yang tadi bersorak-sorak memberi dukungan pada dirinya?
Laila bangkit hendak duduk. Dokter Lala membantunya duduk, menegakkan bantal agar Laila bisa duduk. Laila tersenyum kecil, dibalas dengan senyum dokter Lala yang lebar.
“Dokter?” Tanya Laila perlahan.
Dokter Lala mengangguk. “Saya dokter Lala….”
“Ini Rumah sakit?” Laila bertanya lagi, menatap langit-langit ruangan.
Dokter Lala menggeleng sembari mengusap kepala Laila. “Kamu di UKS, sayang…”
“Sekolah Petualang?”
Dokter Lala mengangguk, dia tetap tersenyum.
“Ini apa?” Tanya Laila sembari memegang selang, cairan di dalam selang itu masih mengalir.
“Selang untuk mengirimkan obat ke dalam badan kamu, Laila…” Jawab dokter Lala tambah ramah.
“Dokter tahu nama saya?” Tanya Laila tersenyum-senyum.
“Teman-temanmu sering mengucapkan itu.”
Laila mengangguk.
“Kepala mu terbentur, kaki mu patah kecil, hanya berlansung empat hari. Tapi kaki mu akan akan pincang hingga tiga bulan.” DokterLala menjelaskan secara singkat.
Sliiit… top.
Pintu dibuka oleh dua orang. Waahh… Laila kenal siapa mereka!! Umi dan Abi!
“Umi!! Abi!!” Laila berseru senang.
Dokter Lala ikutan senang.
“Emm…” Dokter Lala seperti sedang memikir.
“Oya! Laila belum makan, kan? Sini saya ambilkan makanan.” Dokter Lala beranjak keluar.
Umi Laila memegang tangan dokter Lala.
“Tidak usah. Saya sudah bawa makanan.”
Dokter Lala tersenyum, tetap keluar (Mungkin dokter Lala mau makan Ikan kuah arah, kali ya? ^U^). Laila disuapin umi makannya. Tapi umi tidak bisa lama-lama, begitu peraturannya. Eahhh.. Lagian kan ada dokter Lala yang cantik dan baik hati. Malam itu Laila tidur di UKS
~~~
Benar kata dokter Lala. Setelah tiga hari, keadaan Laila membaik. Garis zig-zag sudah bewarna hijau. Semua bersorak. Laila tidak tidur di UKS lagi, horee.. (Ah, aneh. Enakan tidur di ruangan lah, daripada tidur di kemah, banyak nyamuk).
Hari ini hari Rabu, pagi. Laila akan berlatih jalan, setelah lama baring dan duduk di bed pasien (Keenakan dia!^8^). Laila memakai sepatunya.
“Jangan pakai sepatu itu, ntar nanti jatuh.” Komentar dokter Lala, tangannya ada di balik punggung, sepertinya dokter Lala punya sesuatu.
“Lalu pakai sepatu apa dokter?” Tanya Haura bingung.
Dokter Lala menyungging senyum. “Pakai ini! Sepatu untuk orang sakit.” Dokter Lala mengeluarkan tangannya.
“Wah itu untuk Laila?” Tanya Aulia sumringah.
“Di pinjam. Ini punya rumah sakit.” Jawab dokter Lala. Aulia membuka mulutnya lalu men ‘oh’ kecil.
Laila memasang sepatu coklat itu. Dia mulai berdiri, berjalan perlahan-lahan. Semua bersorak senang. Tiga hari yang lalu semua bersorak menyemangatinya memanjat. Kini semua bersorak menyemangatinya berjalan.
Hup..! Laila terjatuh setelah tiga langkah. Laila bangkit berdiri, melangkah kaki lagi. Hup! Dia terjatuh setelah enam langkah, Laila bangkit melangkah lagi. hingga beberapa kali dia terjatuh, tapi Laila pantang menyerah. Akhirnya Laila bisa berjalan lancar, tapi dia masih pincang, badannya masih goyang. Semua bertepuk tangan.
Laila menjalani hari-harinya seperti biasa, tapi sedikit berbeda. Laila lebih banyak berjalan hari ini. Hingga senja menjelang. Laila pulang ke kemah. Dia mengambil sesuatu dari koper tempat koleksinya. Pot bunga yang sangat cantik dengan bunga yang dibuatnya dari pipet (Tangkai bunga) dan kapas (Bunga). Bunga Dandelion di dalam pot cantik. Dia memasukkan pot dan bunga itu ke dalam kotak mika, lalu diikatnya dengan pita.
Laila bangkit berdiri. Dia menemui dokter Lala.
“Dokter Lala..!!” Laila berseru histeris sembari melambaikan tangan.
Dokter Lala mendekat. “Ada apa Laila? Histeris banget..!!”
“Ini dokter Lala..!!” Laila memberikan kotak mika itu. “Hadiah sebagai ucapan terimakasih buat dokter Lala.”
Dokter Lala terharu. “Ini hadiah terbaik.” Dokter Lala mengusap kepala Laila. Laila menyungging senyum, senyum yang manis sekali dari biasanya.
“Tapi, ada hadiah yang lebih baik dari ini.” Lanjut dokter Lala. Laila menunduk, pasti pasien-pasiennya memberikan hadiah yang mahal dan bagus dari pot ini, Pikir Laila.
“Jangan bersedih putri kecil…” Dokter Lala tersenyum. “Hadiah terbaik bagi seorang dokter adalah pasiennya yang sembuh karena jasanya, dan hadiah yang paling baik ada lah pasiennya yang pertama kali sembuh setelah menglami sakit parah. kamu lah orangnya Laila… Selama ini saya tidak pernah tahu, apakah pasien saya sembuh atau tidak? Karena saya hanya memberikan obat. Kamu Laila, sudah sembuh karena jasa ku.” Perkataan dokter Lala membuat Laila tersenyum manis. Perkataan dokter Lala begitu melekat pada hati Laila.
You must be logged in to post a comment.