Tugas 10-Nada

Tema : Fantasi

Petunjuk Gambar : Kuda, Naga

Petunjuk Cerita : Naga

Judul : Naga Semangka

Penulis : Nada

Sampul depan:

Sampul Belakang

Punggung Buku

Cerita:

NAGA SEMANGKA

“Assalamu`alaikum…” Suara Tiwi mulai terdengar, pertanda akan pergi.
“Wa`alaikum salam. Hati-hati ya ma..!” Si kembar menjawab salam.
Tinggallah mereka berdua di dalam rumah. Chiki melakukan hobinya.
Chiko hanya menonton Chiki yang sedang menumbuk-numbuk daun dan buah-buahan kecil yang tidak terlalu dia kenal.
“Chiki…Chiko…” Terdengarlah suara yang sudah mereka kenal.
“Eh..siapatuh?” tanyak Chiko sembari melihat kebelakang.
“Oh..Mimi..kirain siapa tadi,” kata Chiko. Oh..ternyata Mimi, seekor anak kucing.
Mimi melihat tumbukan itu dengan serius, Entah apa yang dipikirkannya. Setelah beberapa menit, Mimi mulai bertatanya.
“Untuk apa yang kamu tumbuk itu?” Mimi mulai bertanya.
“Ini obat,untuk orang berobat,” kata Chiki yang tak henti-henti menumbuk tumbuhan tersebut.
Setengah jam kemudian…
Satu persatu pekerjaan mereka sudah selesai. Mereka mulai bosan dengan pekerjaan mereka sekarang ini,terlebih lagi Chiko dan Mimi. Mereka pun segera keluar untuk bermain. Mimi memberi ide agar bermain petak umpet. Mereka pun Akhir nya bermain petak umpet.
Setelah lima kali putaran, Mimipun Akhinya pulang karena sudah jam setengah dua.
“Aku pulang dulu ya..,kalau Aku main panas-panasan,nanti sakit,” kata Mimi. “Mimi memang anak yang disiplin gak seperti Chiko, sebentar-bentar main,” kata Chiki dalam hati nya.
Chiko mengajak Chiki entah kemana.
“Kamu mau ngajak Aku kemana Chiko?kok jauh kali?” tanyak Chiki.
“Tenang saja,ini dekat rumah kita,” kata Chiko santai sembari menunjuk ke arah rumah mereka.
Ternyata dia ingin mengambil buah semangka.
“Ini kan jam dua,waktu nya kita makan,” kata Chiko.
Chiko mengambil buah semangka yang agak busuk. Mereka mematuk-matuk buah semangka tersebut untuk memakan seekor ulat. Patukan mereka itu sangat dalam karena setiap mematuk, si ulat mengikuti kearah lobang yang dipatuk. Mereka terus mengejar ulat dengan terus mematuk. Ketika sedang mematuk..,Tiba-tiba…
Huaa…!!
Chiki dan Chiko meluncur entah kemana. Mereka pun sampai di permukaan yang tak mereka kenal sedikit pun.
“Ada manusia rupa nya disini.” Suara menyeramkan itu membuat Chiki dan Chiko takut.Si kembar itu menghadap ke belakang.
“Huaa..!!Naga..!!Siapa manusia??” tanya mereka.
“Kalianlah, siapa lagi kalau bukan kalian?” kata Naga itu.Chiki dan Chiko melihat sayap nya.
“Ya Allah,kok badan kita berubah menjadi seperti manusia??” sontak mereka berdua serempak.
“Sudah jangan banyak alasan, Sekarang waktunya kalian menjadi makanan ku siang ini” kata Naga itu,Chiki dan Chiko langsung terkejut,Si kembar itu pun lari sekuat tenaga.
Dan Bruk..
Chiki dan Chiko menabrak Seekor kuda.
“Sorii…,” kata Chiki.
“Tidak apa-apa,sekarang kau naik di punggung ku,” kata kuda itu.
“Aku ini kuda baik,” lanjut kuda itu lagi. Tunggu apa lagi? Naga sudah dekat. Mereka pun menaiki punggung kuda putih itu.
“Nama kau siapa?” tanya Chiko.
“Namaku Hermex seperti yang ada di punggung ku itu,” jawab kuda itu (Hermex).
Hermax adalah seekor kuda jantan yang suka berlari kencang sehingga membuat Chiko dan Chiki harus berpegangan kuat. Warna bulu nya putih,di punggung nya ada tulisan Hermex. Mereka akhirnya sampai disebuah tempat yang seperti perumahan. Rumah-rumah disana sangatlah aneh. Bentuk nya sama. Bulat dan bulat lonjong.
“kita aman di sini?” tanya Chiki dengan wajah cemas.
“Tidak,” kata Hermex sambi menggeleng.
“Kalau begitu kita pindah dari sini,” pinta Chiko.
“kalau kami pindah,dia selalu mengikuti kami. Jadi kami nggak bisa pindah,” kata Hermex.
Mereka memasuki rumah yang sangat besar.Itu adalah rumah nya Hermex. Mereka mengobrol bersama.
“Oiya,kenapa kita bisa jadi manusia?Aku tidak pernah memakai topi secantik ini, aku juga tidak pernah memakai jilbab,dan juga baju kembang seperti putri,” kata Chiki.
“ini adalah Dunia semangka ajaip,” kata Hermex.
“Yang seperti aku bilang tadi, kita harus pindah,” kata Chiko.
“Bagaimana caranya?” tanya Hermex.
“Jika kalian ingin mengucapkan sesuatu kalian berbisik-bisik ya..”lanjut Hermex.
Mereka mulai berpikir keras.
“Bagaimana kalau kita pindah di malam hari” Usulan dari Chiko itu sangat bagus. Akan tetapi, ada satu penghalang. Apakah itu?
“Itu memang ide terbagus. Cuman..,kau itu bermadsud pindah ketika naga itu tidur kan?”Tanyak Hermex.
“Iya,maksudku warga-warga pindah secepat nya ketika malam hari,” jawab Chiko.
“Dia berjaga-jaga di malam hari,dan tidur di sore hari”kata Hermex.
“Kalau begitu, Kita pindah di Sore hari saja,” kata Chiki. Semua mengangguk.
“Perkenalkan namaku Nadila” kata seorang gadis perempuan. Chiki dan Chiko pun berkenalan bersama Nadila.
Semua Warga-warga membereskan Barang-barang yang ingin dibawa pindah. Hermex dan Chiko berjaga –jaga ketika ada Naga. Chiki dan Nadila membantu warga membereskan barang-barang. Sore pun tiba. Warga-warga sudah siap untuk pindah. Kali ini mereka memakai kendaraan seperti kuda,keledai,sapi,mobil,dan honda.
Kali ini mereka berhasil pindah. Tempat nya sangat Aman. Mereka membangun rumah yang sangat besar. Disitulah mereka tinggal bersama. Mereka mengobrol bersama. Mereka menyantap makanan dengan senang keculi Nadila.
“Nadila kamu kenapa?kamu sakit ya?” tanya Chiki. Perkataan itu membut semua orang diam melihat Nadila. Nadila tetap tidak menjawab.
“Aku tidak sakit,Aku hanya ingin membunuh Naga itu karena Naga itulah yang membunuh ibuku. Aku mohon kepada kalian, kita harus berperang membunuh Naga itu,” kata Nadila. Semua setuju dengan permintaan Nadila.
“Baiklah kami mau menolong kamu, maksud ku kami mau berperang membunuh Naga itu,” kata Chiki.
“Hari apa kita melawan Naga itu?” tanyak Hermex.
“Lima hari lagi” jawab Chiko.
Mereka berlatih semampu mungkin. Sebenarnya mereka adalah orang yang paling pemalas. Karena akan ada peperangan, mereka pun mendadak jadi rajin.
***
Keesokan hari nya…
Kring…Kring…Kring…
Suara lonceng berbunyi. Lonceng itu tidak berhenti berbunyi jika mereka tidak segera bangun. Nadila membangunkan Chiki,Chiko,dan Hermex lebih awal. Chiki dan Chiko merenung di kamar mereka. Mereka memegang sebuah potoTiwi dan mereka berdua sambil menangis. Mereka membaca tulisan di dalam Foto itu. Chiki dan Chiko kesayangan ku. Mereka membaca tulisan hampir tak bersuara.
“Sabar ya….Kami janji akan kembalikan kamu kenegeri kamu semula setelah peperangan ini,” kata Hermex sambil menggosok gosok punggung Chiki dan Chiko. Mereka pun pergi ke lapangan untuk melanjutkan latihan mereka hari ini.

Setelah Beberapa hari mereka berlatih. Peperangan pun di mulai. Mereka menyiapkan pasukan yang sangat banyak. Semua gagah dan kuat. Seperti ingin membunuh seribu singa. Berepa menit setelah itu mereka sampai di kerajaan Naga.
“Oh…ini lah yang aku tunggu dari dulu,HAHAHA….!!! Kalian tidak akan bisa mengalahkan ku,kalian pas…” Tiba-tiba perkataan Naga terputus karena Nadila menyabet pisau kearah Kaki Naga. Nadila geram mendengar perkataan Naga. Nadila membuat Naga itu marah. Bukan marah karena kesakitan tetapi,karena Nadila memotong pembicaraan nya. Naga itu langsung mengejar Nadila. Nadila terkejut, dia pun berlari sekuat tenaga. Naga itu mencakar Nadila. Salah satu dari pasukan menembak kaki Naga itu. Chiki yang memakai baju seperti putri, membawa Nadila pergi.
“Rencana….!!” kata Panglima yang Gagah, yaitu Chiko.
Beberapa pasukan langsung mengambil tali yang berada di dalam plastik. Mereka mengikat kaki Naga. Naga itu terduduk. Chiko pergi menuju Nadila yang sedang diobati oleh seorang gadis yang bertugas mengobati.
“Kamu itu kelewatan, seharusnya kamu tidak menyabet kaki Naga itu,” kata Chiko.
“Maaf,tapi Dia menyakiti hatiku” kata Nadila merasa bersalah.
“HAAAA…….!!!! Aku tidak mau diikat……!!” Teriak Naga itu.Tiba-tiba tali terputus. Naga itu membuat semua orang mati. Semua hampir habis dimakan dan dicakar. Ada juga yang mati karena hanya melihat Naga mengamuk.
“DI MANA KAU NADILAAAA……..!!!!!” kata Naga itu. Chiko pun memerintahkan pasukan agar menjaga Nadila. Naga itu melihat Nadila. Karena Naga itu besar Dan tinggi, Naga itu mendapat kan Nadila. Dia melempar Nadila kearah istananya.Tiba-tiba saja Nadila menghilang. Melihat Nadila menghilang entah kemana, Chiki menjadi marah, dia langsung menembak anak panah sampai lima kali. Chiko melihat kearah orang yang sudah kesakitan. Hanya tinggal Mereka bertiga,yaitu Chiki,Chiko,dan Hermex. Chiko pun langsung meloncat ke arah Naga sambil menyabet-nyabet pisau kearah Naga. Hermex mengikat kaki Naga.
“HUAAA!!” Naga itu mengeluarkan suaranya yang terakhir sambil terduduk. Mereka mendekati naga dengan hati-hati. Chiko memeriksa naga itu apakah sudah mati atau nggak.
“Naga ini masih hidup,” kata Chiki. Naga itu membuka matanya. Chiki terkejut.
“Maaf kan aku Ya!!” kata Naga itu. Chiki langsung tersenyum mulihat Naga itu mengakui kesalahan nya.
“Iya” setelah mendengar jawaban Chiki, Naga menutup matanya.
“Naga…!!Bangun naga…Bangun…!” kata Chiko sambil menangis. Chiki Langsung memeriksa Naga itu lagi.
“Naga ini sudah mati” kata Chiki merasa sedih juga.
“Kenapa kalian Sedih? Seharus nya kita gembira naga ini mati. Ayo gembira…!!Kita menang…!!!” kata Hermex sambil mengangkat tangan Chiki dan Chiko.
“Dia sudah mengakui kesalahan nya, kita tidak boleh gembira kali ketika ada mahkluk yang mati,” kata Chiki dan Chiko.
“Tapi Dia itu jahat sekali..!!” kata Hermex.
“Walau pun Dia jahat sama kita,tetapi kita harus ikut bersedih juga. Coba kamu digitukan juga, pasti kamu sakit hati juga kan?” kata Chiki.
“Baiklah Aku ikut bersedih juga. Oiya kita Cari Nadila Yuk!” kata Hermex.
Mereka pun memasuki Kerajaan Naga tersebut. Mereka menemukan dua persimpangan, mereka menjadi Bingung.
“Chiko…Ini kan ada dua simpang,bagaimana kalau aku pergi ke kiri, kau dan Chiki ke kanan” kata Hermex. Semua mengangguk setuju.
Chiki dan Chiko berjalan lurus, mereka memasuki sebuah ruangan. Mereka melihat seorang gadis yang telah mereka kenal yang terbaring di atas kasur.
“Itu Nadila” kata Chiki sambil menunjuk ke arah gadis tersebut.
Mereka mengobati Nadila,Beberapa manit setelah itu, Nadila pun sadar. Chiki langsung memeluk Nadila.
“Syukur lah kau sudah sadar,Nadila”Kata Chiki sambil memeluk Nadila, Nadila hanya tersenyum sedikit. Dahi nya mengeluarkan garis seperti masih bingung.
“Aku di mana?Kenapa aku Seperti ini?Apakah naga sudah mati?Dimana Hermex?”tanyak Nadila.
“Kau di kerajaan naga,Kau dicakar Naga Semangka” kata Chiko. Chiki mengangkat kepalanya.
“Naga itu sudah mati, Hermex menunggu di sana” kata Chiki.
“Syukur lah”Kata Nadila.
Mereka meninggalkan Ruangan itu. Mereka bertemu dengan Hermex. Mereka berempat keluar dari kerajaan itu. Tiba-tiba saja Naga itu tidak ada lagi. Hari sudah mulai gelap pasukanpun pulang bersama.
Di desa itu, Chiki dan Chiko memasuki kamar mereka dan melihat kembali foto Tiwi dan anak-anaknya.
“Seperti yang kami janjikan tadi pagi,kami akan mengantarkan mu ke negeri asal mu”Kata Hermex.
“Kamu saja yang ngantar Dia”Kata Nadila.
Keesokan hari nya…..
Seperti biasanya lonceng selalu berbunyi. Chiki dan Chiko bangun lebih awal. Mereka langsng mandi Setelah mandi, mereka lang sung menaiki punggung Hermex. Mereka bertiga pergi.
“Selemat tinggal…”kata si kembar itu.
“Terimakasih telah menyalamat kan kami dari Naga,Selamat Tinggal juga..”
“Iya,Sama-sama” kata Chiki.
Semakin jauh mereka semakin menghilang. Mereka melawati Kerajaan Naga.
“Siap-siap,tutup mata kalian”perintah dari Hermex langsung dilakukan. Chiki dan Chiko menutup matanya.
“Sekarang kalian boleh membuka mata kalian”Kata Hermex. Ketika mereka membuka mata mereka.Tiba-tiba…
Mereka terkejut melihat mereka berdua menaiki punggung boneka kuda. Di punggung nya ada tulisan Hermex.
“ini mimpi atau nyata?”tanya mereka. Mereka pun membawa boneka itu pulang dan menceritakan kepada Tiwi.

Advertisement

Tugas 10- Jaihan

Tema: Cerita fantasi

Petunjuk Cerita: Naga, Dandelion, panah

Petunjuk gambar: Naga dan Istana

Judul: Dandelion

Nama penulis: Dzakiyyah Jaihan

Kesan: Alhamdulillah, sudah selesai tugas sepuluh. Terimakasih kepada teman-teman yang selalu membagi tips dan ilmunya. @umminamira dan @aghasyka. Jaihan tunggu proyek berikutnya ya, kak Sari (Cerivitas)..

Sampul depan:

Sampul belakang:

Punggung Buku:

Tugas 9- Jaihan

Tema: Acara atau perayaan

Petunjuk cerita: Cemilan

Petunjuk gambar: Cemilan dan malam

Judul: Api Unggun

Nama penulis: Dzakiyyah Jaihan

Sampul depan:

Sampul belakang:

Punggung Buku:

Cerita:

Api Unggun
Matahari kian meninggi. Cahayanya makin panas, membuat badan gerah. Enaknya minum dingin-dingin. Lapangan juga mulai sepi, eh… bukannya dari tadi emang sepi? Petualang pergi berburu. Lama banget, mungkin mereka banyak medapat buruan. Perlahan terdengar suara tawa dan percakapan. Petualang keluar dari hutan.
“Ealah.. Yazid katanya tadi mau buru rusa, tapi cuman dapat ikan..!” Asad tertawa terbahak-bahak, menunjuk-nunjuk Yazid.
Yazid garuk-garuk kepala. “Rusanya lari cepat, makanya aku nggak bisa dapat.”
“Ihh.. Yazid banyak alasan nih..” Laila menggoda Yazid (Kakinya masih pincang).
“Oi! Diam lah.” Hardik Yazid menatap Laila tajam, Laila hanya nyengir.
“Eh, tapi kita semua dapat buruan nih…” Kata Aulia melerai.
“Hah..iya. Nanti kita hitung bersama, ya..” Ajak Nazira riang. Semua mengangguk setuju.
Mereka segera menuju dapur petualang. Mengumpulkan seluruh hasil buruan. Ada daging Rusa, Kambing, dan Ayam hutan. Ada juga Udang, Ikan sungai, dan tumbuhan-tumbuhan hutan, dijamin semuanya lezat, asal yang masak Aulia, petualang iseng menggoda Aulia di dapur. Mereka juga memetik buah-buah hutan. Ah… seperti akan ada acara Api unggun saja.
“Oi, banyak sekali!” Seru Aulia riang, tangannya sudah gatal ingin memasak.
“Makanya kita hitung dulu.” Ucap Nazira menatap bingung seluruh hasil buruan, mau diapakan semuanya?
“Ayo kita hitung lansung..!” Seru Haura tak sabaran, Laila mengusap punggung Haura, sabar…, mungkin begitu maksudnya.
“Oke, kita akan mulai.” Kata Nazira mengeluarkan buku tulis berukuran A6 dan pena.
“Yazid, Asad, Aulia. Kalian pisahkan satu-satu kelompok dan jenis hasil buruan kita.” Perintah Nazira sembari menunjuk Yazid, Asad, dan Aulia dengan penanya.
“Eh, kita nggak nentuin ketua dulu nih?” Tanya Aulia.
“Nggak usah, Nazira saja yang jadi ketua.” Laila yang menjawab. Semua mengangguk setuju.
Asad, Yazid, dan Aulia mulai bekerja. Hasil buruan Rusa dikumpulkan dalam satu kelompok, kambing dalam kelompok kambing, udang dalam kelompok udang, ikan dalam kelompok ikan, ayam dalam kelompok ayam, buah dalam kelompok tumbuhan, dan tumbuhan hutan dalam kelompok tumbuhan. Lengkap sudah. Tapi ada kejadian yang membuat dapur ribut.
Aulia membuka plastik yang berisi tangkapan ikan milik Yazid. Tapi…
“Hua…!”Aulia histeris melempar sebuah plastik bening yang ada di dalam plastik hasil tangkapan ikan Yazid.
Apa sih isinya? Semua jadi penasaran.
“Ada apa, Aulia?” Semua orang bertanya keculi Yazid, dia terlihat salah tingkah, tentulah dia tahu apa itu yang dilempar Aulia.
Aulia hanya menunjuk plastik bening itu dengan menutup mata, dia tidak berani membuka mata sebelum plastik itu dibuang. Semua mendekat dengan hati-hati, ingin tahu di dalam plastik itu apa. Mengapa Aulia bisa sehisteris itu?
Semua tersentak, mundur menjauh, geli melihatnya. Semua menatap tajam ke arah Yazid. Yazid pura-pura tidak tahu.
“Yazid..!!!” Nazira berteriak kencang bagaikan singa yang mengamuk.
Yazid menutup telinga, merasa pekak. Lalu dia menatap semua orang sembari tertawa kecil.
“Apaan sih kamu? Kenapa malah tangkap katak..?” Tanya Laila kesal.
“Aku tadi cuman mau main aja.” Jawab Yazid malu.
“Sekarang kamu buang itu katak, udah penyet..! Kayak ayam penyet! Kamu mau makan??” Nazira berseru kesal, kesal sekali, dia serasa ingin mengutuk Yazid jadi katak.
“Hiii.. pantesan plastiknya Yazid bau. Geli deh mau makan ikan tangkapan mu..” Asad pura-pura menjadi penggeli.
“Oi! Itu kan beda plastik.” Kata Aulia menatap Asad.
Yazid mengambil plastik berisi katak penyet itu. Lalu membuang dengan menutup hidung. Puk-puk, Yazid menepuk tangannya.
“Cuci tangan mu, Yazid.” Kata Aulia. Yazid menuruti saja.
Itu lah yang terjadi. Mereka melanjutkan pekerjaan lagi hingga selesai.
“Sekarang coba hitung Rusa ada berapa plastik?” Tanya Nazira bersiap mencatat.
Aulia menghitung dengan cepat. Sesaat kemudian didapat lah angkanya.
“Lima.”
Nazira mencatat.
“Sekarang hitung Ayam.” Kata Nazira. Aulia mengangguk.
Mulai menghitung lagi, lalu memberitahu angkanya. “Tujuh.” Dan Nazira mencatat lagi.
“Udang?” Tanya Nazira.
Aulia menghitung lagi, lalu memberi tahu. “Empat.”
“Emm.., Sekarang ikan.” Kata Nazira sembari mentusuk pipinya sendiri dengan pena.
Aulia kembali menghitung. “Enam.”
“Terakhir, sayur dan buah.” Kata Nazira usai mencatat.
“Ada lima kantong plastik.” Aulia menyebut angka terakhir.
Nazira melihat serius catatannya. Oi? Nazira bingung.
“Banyak sekali buruan kita.” Nazira mengabari.
“Asiik….!!” Seru Aulia.
“Mau kita apakan semua ini?” Tanya Nazira bingung, dia mulai berfikir.
Laila, Aulia, dan Yazid ikutan berfikir. Emm…? Laila berfikir tajam, mencari jalan keluar yang tepat. Yang diinginkannya adalah bagaimana caranya agar untung dan tidak rugi? Bagaimana caranya menggunakan semua hasil buruan ini?
“Kita masak saja semuanya.” Aulia memberi usulan, ah, pikirannya selalu masak.
“Lalu bagaimana cara menghabiskannya? Sampai kita tamat dari sekolah Petualang, buruan ini tak bakal habis.” Komentar Laila, tepat dan cerdas.
Mereka berfikir lagi. berfikir dengan cermat dan matang-matang.
Tiba-tiba terlintas ide konyol di kepala Yazid. “Aha..!” Seruannya menjadi perhatian. “Kita kemabalikan saja seperti semula.”
Oho,ho..!
“Hebat ya, idenya. Kamu pikir kita ini tuhan? Sehingga bisa menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati?” Tanya Nazira ketus. Yazid garuk-garuk kepala, baru sadar atas ucapannya.
“Yee.. Yazid. Kembalikan lah katak penyet itu seperti semula, kalau kamu pikir kamu bisa.” Aulia cengesan, menambah rasa malu Yazid.
“Eh, bagaimana kita berikan ke warga-warga sekitar sini?” Usul Nazira, itu ide bagus tapi kurang tepat.
Laila menggeleng. “Itu ide bagus. Tapi apakah kita akan memberikan setiap warga satu ikan? Satu potong daging? Satu paha Ayam? Satu Udang? Itu akan membuat mereka jengkel, bukan berterimakasih.”
“Lalu, apa ide mu?” Tanya Haura kepada Laila.
Laila tersenyum, terlintas ide cemerlang di kepalanya. “Kita buat acara, nanti malam.”
“Hah?” semua terkejut serempak.
“Kenapa harus acara?” Tanya Asad bingung.
“Iya, nanti malam pula.” Timpal yang lain.
“Biar seru, dan buruan kita akan berkurang, pas untuk seminggu lagi, kita akan tamat. Oya! Besokkan dokter Lala akan pulang, acara ini bisa juga dijadikan untuk acara melepas dokter Lala.” Jelas Laila tersenyum-senyum. Semua mengangguk setuju.
Mulailah mereka bekerja, membagi tugas. Aulia, Khansa, Enisya, Amaroh, Syifa, dan Humairoh bertugas di dapur, masak. Nazira, Ana, dan Haura bertugas membersihkan lapangan. Asad, Syafiq, Thariq, Amer, dan Harun bertugas mengambil kayu bakar dan mengangkat tikar. Yazid, Khalid, Omar, Ikrimah, dan Thalha bertugas menata dan menyiapkan piring, gelas, dan bahan yang kurang. Sedangkan Laila sendiri kocar-kacir memantau.
Di dapur, Petualang sibuk mencari menu masakan yang enak.
“Menu kita kebab turki dan susu saja.” Usul Aulia.
“Nggak ah, Ramen saja.” Enisya membantah, jelas-jelas dia suka sekali makanan khas Jepang itu, makanan ala Naruto, Naruto itu film kesukaan Enisya.
“Sushi saja kalau kamu mau makanan Jepang.” Syifa berucap tegas.
“Nasi Kebuli saja, aku pandai memasaknya.” Usul Khansa, Nasi kebuli? Makanan khas Arab.
Amaroh menggeleng kuat. “Bagimana kalau Hamburger saja? Atau Krabi patty saja.”
“Lotek saja, itu makanan tradisional Indonesia. Seharusnya kan kita melestarikan makanan ala Indonesia, bukan makanan negara luar.” Itu usul yang bagus dari Humairoh.
“Boleh juga, lalu tambah satu menu. Mie Api.” Ucap Aulia. Kata-katanya benar membuat semua orang tersedak dan terkejut. Mie Api? Di Pentas Hobi saja Mie itu tidak laku.
“Bisa bolak-balik kamar mandi orang nanti.” Enisya nyengir lebar. Aulia sebal makanan kesukaannya dicela.
“Kalian belum mulai?” Ada yang bertanya, itu Laila yang mendengar keributan di dapur.
“Belum tahu menunya apa.” Jawab Khansa polos.
“Emang kalian mau menunya apa?” Tanya Laila mengelus dagunya.
Semua lansung rebutan menjawab.
“Kebab turki!”
“Tidak! Ramen!” Seruan lain.
“Sushi!!”
“Oi, nasi kebuli!”
“Hamburger!!”
“Lotek! Makanan tradisional!!”
“Mie Api!!” Seru Aulia, semua terdiam.
Laila geleng-geleng kepala melihat kelakuan teman-temannya. “Tidak usah ribut, masak saja yang ingin kalian jadikan menu. Buruan kita banyak, tidak mungkin menunya satu atau dua.” Laila mengusulkan cara yang tepat. Semua mengangguk setuju.
“Tapi jangan jadikan Mie api sebagai menu acara, itu akan merusak acara. Bukannya aku mau mencela Mie api ya… Emang kita semua disini bukan orang yang tahan pedas seperti kamu, Aulia.” Jelas Laila tersenyum. Aulia hanya mengangguk kecil.
“Oya, jangan lupa tambahkan satu menu utama. Ikan darah. Itu makanan kesukaan dokter Lala.” Kata Laila menambah satu menu spesial. Yang lain mengangguk.
Sedangkan di lapangan, semua berjalan lancar. Hanya saja Yazid sesekali menjadi TJPM seperti tabiatnya, usil dan jahil, sukanya mengganggu orang lain.
~~~
Akirnya semua selesai sebelum magrib. Semua lelah, sama-sama lelah. Makanan telah tersusun rapi di atas tikar besar. Ada tela-tela, susu, kue, kebab, nasi kebuli, buah-buahan, sayur sup, ayam kecap, sushi, ramen, dan masih banyak lagi. ada juga cemilan seperti kerupuk dan pop crond. Ada juga jagung dan ikan bakar. Nyeemm… dijamin semuanya lezat.
Aulia yang memang hobinya memasak, tentu tidak akan berhenti memasak jika bahan-bahan masih banyak. Dia meminta Asad menyalakan api di pinggir kemah, lalu dia menegakkan kayu penyangga. Dia pun mulai memasak di atas api, seru sekali. Acara ini berlansung di pinggir kemah. Asad menyalakan api lagi ditengah-tengah kemah. Bukan untuk masak, tapi api ini adalah inti acaranya. Acara ‘Api Unggun’.
“Dokter Lala!!” Seru Laila berlari mendekati dokter Lala dengan kakinya yang pincang, kalau berjalan pincangnya tidak terlalu kelihatan.
“Laila. Ada apa?” Tanya dokter Lala sembari jongkok, dia menatap Laila tersenyum.
“Acara Api Unggun kejutan..!!” Laila membentangkan tangannya. Semua petualang melambaikan tangan ke arah dokter Lala.
Dokter Lala berdiri, wajahnya sumringah. Dia membaca tulisan sepanduk yang digantungkan diantara dua pohon. “Kami ingin melepas kepergian dokter Lala…”. Dokter Lala tersenyum lebar membaca tulisan itu.
Laila menarik dokter Lala ke tikar yang penuh dengan makanan.
Setelah sholat magrib, Haura pergi memanggil para jendral untuk makan. Yazid pergi memanggil kapten. Asad pergi memanggil para letnan. Semua pun datang. Mereka duduk di tepi-tepi tikar. Mereka bersiap untuk makan, makanan sudah mereka ambil dan mereka letakkan di piring masing-masing. Satu-persatu menyamtap makanan di piring masing-masing.
“Oi! Aku ketinggalan..!!!” Aulia berteriak, dia belum selesai memasak menu terakhirnya. Nasib-nasib… Chef yang terlalu semangat memasak. Yang masak malah nggak makan. Semua tertawa, sedangkan Aulia salah tingkah.

Setelah menu terakhir Aulia selesai, Aulia pun lansung masuk kedalam kelompok perempuan. Dia tidak membawa masakan terakhirnya itu.

“Eh, Aulia. Itu makanannya nggak dibawa kesini?” Tanya Nazira.

“Aku mau kasih Zia dan teman-temannya.” Jawab Aulia enteng.

Semua tersedak. “Siapa itu Zia?” Tanya Laila.

“Sahabat ku.” Aulia menjawab polos.

“Kenapa harus dikasih ke orang? Kenapa nggak kita aja yang nikmati?” Tanya Haura dengan wajah datar.

“Kan menu kita kelebihan. Kalau kita punya makanan yang lebih, kita hadiahkan ke orang lain, biar dapat pahala.” Jawab Aulia mantap, yang lain hanya mengangguk petanda setuju.

“Mungkin nanti mereka juga bakal kasih kita balasan makanan yang lezat.” Aulia nyengir lebar.

“Kamu pengen dapat imbalan?” Tanya Nazira melotot.

Aulia buru-buru menggeleng. Sehabis makan Aulia lansung izin keluar. Dia menghadiahkan makanan itu kepada Zia dan teman-temannya. Zia dan teman-temannya (Karakter Namira) mengucapkan terimakasih.

Tugas 8- Jaihan

Tema: Profesi

Petunjuk gambar: Dokter, putih, coklat

Petunjuk Cerita: Dokter

Judul buku: Hadiah Terbaik

Nama penulis: Dzakiyyah Jaihan

Sampul depan:

Sampul belakang:

Punggung Buku:

Cerita:

Hadiah terbaik
Matahari menampakkan diri, tak segan menyebarkan cahayanya. Sebagian cahaya itu menyentuh permukaan tanah, sebagiannya lagi menyentuh pucuk-pucuk pohon di hutan, sebagiannya lagi berhasil menembus kemah petualang sehingga membuat cahaya bergradasi. Sebagian cahaya itu dengan senang hati membelai kain jemuran yang basah, dan sebagian cahaya itu berhasil menghangatkan tubuh lembut dan tubuh perkasa, sampai kedua tubuh itu megeluarkan setetes demisetetes air.
Pohon-pohon mulai berbuah yang banyak. Beberapa buah tampak masih berbentuk bakal, beberapa lagi sudah membentuk buah muda, dan beberapa lagi tampaknya sudah matang. Bau manis buah matang itu menyebar kemana-kemana, ahh.. sedap… Hewan maupun Manusia berebut untuk memetik buah yang meneteskan air liur itu. Betapa tidak! Musim buah hanya sekali sampai tiga kali setahun. Meskipun diwaktu lain berbuah juga, tapi buahnya tak sebanyak di musim buah dan buahnya pun tak semanis sekarang ini. Bagi sekolah Petualang, saat ini adalah musim emas. Karena sebelumnya tidak ada musim buah yang buahnya semanis sekarang ini.
“Woii..!” Panggil Amer. Semua mengerumuninya.
“Lihat, banyakkan aku dapat buah..!” Harun berseru riang, dia meraih satu buah di dalam keranjang.
“Kalian berdua yang metik?” Tanya Amaroh ikutan meraih buah di dalam keranjang, tapi tanggannya berhasil dicegah Amer.
“Iya.” Jawab Amer ketus.
Aulia segera mengambil buah mangga dari keranjang biru itu. “Minta mangga satu..!” Serunya yang sudah tak tahan melihat buah mangga manis itu.
Hap! Tangannya dicegah Harun. Harun mentapnya tajam. “Enak saja! Metik sendiri dong..!”
Aulia menarik kembali tangannya. Sedangkan Harun dan Amer segera pergi menuju tepi lapangan, menikmati semua buah-buah manis itu. yang lain hanya bisa meneteskan air liur.
“Eh, Yazid. Kamu petik ya buahnya. Ya, ya, ya..!” Thalha memohon sambil memelas pada Yazid.
“Nanti aku yang metik tapi kalian yang makan.” Kata Yazid jengkel.
“Kamu kan juga ada makan.” Kata Asad menyikut Yazid.
“Mana banyak aku makan dengan kalian?” Tanya Yazid melotot, dia menatap jengkel Nazira. Nazira hanya tersipu, jelas-jelas dia yang banyak makan.
“Iya, iya. Nanti jika buahnya habis, kami lagi yang metik.” Kata Nazira meyakinkan.
“Benar, nih?” Yazid bertanya serius. Nazira mengangguk mantap, jarang mereka damai seperti ini.
“Ya, udah. Kalian bersiap dari bawah pohon.” Kata Yazid segera pergi ke pohon Mangga yang berbuah lebat. Lalu dia memanjatinya.
“Ingat! Jangan ada yang makan dulu sebelum aku turun.” Kata Yazid memperingati. Yang lain mengangguk setuju. Ini seperti perjanjian dengan TJPM saja.
Yazid mulai beraksi. Dengan lincah dia memanjati pohon mangga yang ada di tengah lapangan. Berjalan di dahan pohon yang bergoyang seakan berjalan di tanah saja olehnya. Cekatan dia memetik buah, lalu melemparnya tiba-tiba tanpa mengabari, membuat semua orang kaget dan mengejar buah-buah yang jatuh.
“Oi, Yazid! Kau tak bisa pelan?” Logat bahasa asli Aulia keluar. Yazid hanya nyengir, kan sudah aku bilang siap-siap di bawah pohon tadi, mungkin begitu pikirnya.
Satu jam setelah memanjati beberapa pohon dan memetik banyak buah, Yazid pun turun dari pohon. Pas sekali ketika kakinya menyentuh tanah, buah-buahan itu lansung diserbu. Yazid hanya bisa memandang jengkel dan sebal. Dia segera mengambil bagiannya. Eh, nggak terasa baru satu menit buah-buah itu lansung habis ludes. Metiknya lama sampai satu jam, makannya sebentar hanya satu menit.
“Yah, sudah habis.” Keluh Aulia. “Siapa nih yang congok?”
“Nggak ada yang congok Au..! Memang buahnya yang nggak cukup buat kita semua.” Jawab Nazira menenangkan.
“Lalu sipa yang mau metik lagi?” Tanya Laila menatap teman-temannya.
“Anak jantan lah..” Jawab Aulia sembari menunjuk anak laki-laki.
“Bah! Kami lagi! Kami banting tulang metik, terus kalian santap dengan santai seperti noni-noni belanda.” Kata Asad degan jengkel menolak.
“Kami nggak mau metik. Gantian dong metiknya..! giliran kalian sekarang yang metik.” Tanpa rencana anak laki-laki kompak bicara.
Anak perempuan saling tatap, bingung. Nasib mereka jika tak ada yang metik, itu artinya mereka juga tak bisa menikmati buah.
“Nazira, kamu yang metik ya..” Kata Aulia menjawil tangan Nazira.
Nazira menatapnya. “Yang lain saja. Aku terus yang metik dari anak perempuan, macam Tarzanah saja.”
“Tarzanah? Baru kali ini aku dengar.” Kata Haura tertawa geli.
“Nggak mungkin Tarzan, itu buat laki-laki.” Nazira menjawab polos.
“Oya! Aku punya ide. Bagaimana jika yang belum pernah metik buah di sekolah petualang saja yang metik?” Tanya Nazira memberi usulan. Semua mengangguk setuju, hanya Laila yang ragu setuju.
“Syifa!” Tunjuk Nazira tertawa menjahili. Syifa tak menyangka ditunjuk secepat itu, dia mulai memikir.
“Aku pernah metik!” Syifa buru-buru menjawab.
“Di sekolah petualang?” Tanya Nazira. Syifa mengangguk. Nazira mengangkat mulut bawahnya, jelas dia tak percaya.
“Kapan?” Tanya Nazira.
“Waktu kita lagi di pohon rambutan.” Jawab Syifa.
Nazira terus mencari orang yang belum pernah memetik buah, tapi semuanya sudah pernah memetik meski sekali. Akhirnya ketemu lah orang yang tak pernah memetik buah di sekolah Petualang sama sekali. Laila. ya, Laila. Dia lah yang belum pernah memetik buah di sekolah petualang sama sekali. Dia tidak ahli dalam manjat memanjat, dia juga tak punya pengalaman memanjat pohon yang tinggi. Dia tidak pernah memanjat pohon yang tinggi. memetik pernah, tapi tidak dengan memanjat. Laila memetik dengan kayu.
“Tapi aku nggak pernah metik dengan memanjat.” Laila mengeluh, wajahnya tertunduk.
“Yee, mau pernah mau nggak pernah, harus dilaksanakan.” Kata Humairoh cengesan.
Laila pun menurut. Dia segera menghampiri pohon kelengkeng yang tak kalah banyak buahnya. Pohon itu cukup tinggi dan akan sangat sulit buat Laila untuk memanjatinya. Tapi bau khas kelengkeng memang lah sangat menggoda. Laila segera memanjati pohon itu. Uhh… Sulit sekali. Begitu maksud ekspresi wajah sebalnya. Untung saja dia memakai RokCel (Rok Celana), sehingga bisa memudahkan gerakannya.
Semua orang tertawa melihat gerakannya yang tidak terbiasa dalam manjat memanjat, termasuk anak laki-laki dari kejahuan. Kaki Laila seperti mau menaiki tangga saja, sehingga menarik perhatian semua orang. Kapten, Letnan, Jenderal, dan anak laki-laki menghampiri pohon kelengkeng yang dipanjat Laila. Kini Laila seperti pertunjukan anak bayi saja, atau monyet yang memanjat pohon dengan lucu.
Plak! Belum satu meter Laila sudah terjatuh.
“Aduuhh..” Laila mengaduh pendek, semua orang tertawa.
Laila tak menyerah, dipanjatinya lagi pohon kelengkeng itu. beberapa kali dia terjatuh, tapi Laila pantang menyerah. Ketika memanjat untuk keempat kalinya, Laila berhasil karena semangat dan usaha yang tinggi. semua bertepuk tangan.
“Cepat sekali Laila naik tah-tah..!” Yazid pura-pura kagum, kalian tahu lah tujuannya apa.
Laila terus memanjat dengan cepat. Semua orang menyemangatinya. Suara gemuruh di mana-mana.
“Laila, Laila, Laila!!” Seperti ada perlombaan 17 Agustus saja.
Laila meraih dahan pohon yang ada di atas kepalanya, memegang kuat, lalu menaiki dahan itu. Laila duduk sebentar di dahan kokoh yang baru saja dinaikinya. Buah-buah kelengkeng yang bergelantungan membuatnya tak sabar untuk memetik. Laila melanjutkan lagi, dia mulai memetik.
Hap, hap! Banyak sekali kumpulan buah kelengkeng batang yang dipetiknya. Tapi semua kurang besar, kelengkeng yang besar-besar ada di ujung ranting dan dahan. Tapi itu pasti sulit untuk mengambilnya. Ah, kelengkengnya besarnya gitu-gitu aja. Jika Yazid, Asad, Nazira, atau anak laki-laki yang memetik, pasti dapet buah yang besar-besar.
Bosan sekali mereka yang di bawah mendapatkan buah yang kecil-kecil. Laila pun sebenarnya bosan juga. Tapi dia takut jatuh jika pergi ke ujung dahan.
“Lai! Coba ambil yang di ujung dahan lah..! Bosan orang di bawah!” Yazid berteriak lantang, semua orang memandangnya. Berani sekali Yazid mengatakan hal itu, sambil teriak pula, pikir mereka.
Tapi Laila hanya mengagguk. Dia memberanikan diri untuk merayap ke ujung dahan. Laila merayap seperti anak kecil, membuat semua orang tertawa kembali. Sampai lah dia di ujung dahan yang buahnya besar-besar dan banyak. Laila memetik sambil tengkurap di dahan pohon, dia takut jatuh.
“Di atas, Lai!” Seru Nazira dengan kedua tangan tertangkup di sudut bibir.
Laila mengangguk menuruti, lalu segera berdiri dengan hati-hati. Tangannya terbentang di udara, berusaha menyeimbangkan badannya. Setelah yakin telah seimbang, Laila pun menurunkan tangannya. Dia mengangkat tanga kanannya dengan hati-hati, ingin memetik buah kelengkeng di atas kepalanya.
Tapi…
Belum sempat dia memetik kelengkeng itu, tubuhnya bergoyang tak karuan. Keseimbangannya hilang tanpa sebab. Orang-orang yang tadi bersorak berubah menjadi panik, bagaimana ini? Yang paling panik kapten, jangan sampai Laila celaka hanya karena memetik buah.
“Huaaa..!” Laila terkejut manakala badannya terpleset.
Prak, prak, prak…
Laila terhentak ke beberapa dahan. Lalu….
Brak..!
Suara itu terdengar mengerikan. Sampai di permukaan tanah kepala Laila terbentur akar pohon kelengkeng yang keras. Memang tidak berdarah, tapi membiru lebam. Kakinya tampak seperti tak bertulang, mungkin patah. Kaki Laila juga mengeluarkan banyak darah. Laila antara sadar dan tak sadarkan diri. Dia tidak menangis ataupun mengaduh, dia sudah takberdaya lagi. Wajah cantiknya! Keningnya tergores, pipi kanannya lebam, bibirnya berdarah, dan pelipis kirinya tergores kuat, sehingga mengeluarkan banyak darah.
Semua menatap ngeri ke arah Laila. Mengapa di hari kemerdekaan ini harus ada kesedihan? Mengapa di hari merdeka ada darah yang tumpah juga? Ada yang bersedih juga? Ada yang tak berdaya juga? Itu lah pertanyaan mereka semua.
“Cepat gotong dia ke UKS!” Kapten memerintah dengan lantang, dia melambaikan tangannya.
Tiga Letnan maju membantu kapten menggotong Laila. Mereka membawa Laila ke UKS. Petualang dan para Jendral mengikuti. Jendral Jilan segera membuka pintu UKS. Kapten dan tiga letnan itu membaringkan Laila di Bed pasien.
“Kalian semua keluar.” Perintah jendral Jilan, Yang lain hanya menuruti. Tinggal lah petugas UKS.
Mereka memeriksa Laila. Kepala Laila tidak bisa mereka sembuhkan, peralatan tidak memadai. Kaki Laila juga tidak bisa, mereka tidak ahli dalam tulang dan saraf, mereka hanya memperban kaki Laila. Mereka hanya mengobati luka-luka ringan di badan Laila. Goresan di kening dan di pelipis kanannya diberi Alkohol, lalu dilumuri Betadine. Pipinya dikompres, lalu di olesi dengan Zambuk. Bibirnya yang berdarah diberi minyak zaitun.
Petugas UKS keluar setelah mengobati luka Laila (kecuali kepala dan kaki). Baru saja membuka pintu, semua lansung bangkit mendekati petugas UKS.
“Bagaimana keaadaannya?” Tanya kapten Zoo memandangi petugas UKS serius, kini bukan serius lagi, tapi amat serius sekali.
“Kepala dan kakinya parah, kami tidak bisa mengobati. Peralatan di sini tidak memadai dan kami juga tidak ahli mengobati luka parah.” Jawab jendral Jilan menatap Laila iba.
“Orangtuanya sudah dihubungi?” Tanya jendral Ayu serius.
Kapten Zoo menggeleng. “Kita tunggu kepala dan kakinya diobati, baru lah kita hubungi orangtuanya.” Jawab kapten Zoo, kepalanya sudah pening.
“Kita tidak boleh membebankan orangtuanya, kita yang harus bertanggung jawab. Tak ada gunanya jika kita tidak menyelesaikan keaadaan yang terjadi di area kita, jangan seperti anak kecil yang bergantung terus ke orang lain.” Jelas kapten sambil bersedekap. Semua mengangguk menyimak.
“Coba hubungi dokter rumah sakit kapten, suruh kesini.” Ah, Yazid! Ngomongnya enteng saja. Emang semudah itu…!?
“Oi! Bawa saja Laila ke rumah sakit.” Nazira menyikut Yazid, usul Nazira disambut dengan gelengan Yazid.
“Bisa tercekik kita. Bawa ke rumah sakit, nanti ceritanya jadi panjang. Suruh nginap lah, suruh pakai ini lah, suruh beli ini lah, suru urus ini lah. Lebih baik panggil dokter kesini. Bawa ke rumah sakit emang nggak pake kendaraan? Mau pake kendaraan apa? Di sini nggak ada mobil. Lagian kalau ada keadaan sekarang sedang darurat, harus pake Ambulance.” Jelas Yazid, perkataannya berbeda 180 derajat dari biasanya. Sekarang Yazid sangat serius.
Kapten mengangguk setuju dengan Yazid, memanggil dokter. kapten mengeluarkan ponselnya, lalu mengetik nomor telepon seorang dokter.
Taninung, taninung, taninung…..
Ponsel kapten bersuara kencang.
Tlit..
Panggilan itu dijawab.
“Halo.” Sapa kapten.
“Halo..!” Seseorang di seberang sana balas menyapa.
“Bisa kesini kak? Ada anak yang terluka parah, darurat.” Tanya kapten Zoo penuh harapan.
“Wadooh, maap lah Zoo. Bukannya aku tak mau bantu kau. Tapi aku lagi ada kerja di Bangkinang, nanti malam aku baru balek.” Jawab ibu yang dihubungi dengan logat bahasa khas melayu.
“Tak apa lah kak.” Kata kapten Zoo, lalu memutuskan panggilan.
Kapten Zoo menelpon lagi, tapi sia-sia. Sebagian sibuk dan sebagian lagi tak menjawab panggilan. Ah, dokter memang kerjanya sibuk terus. Tak ada lagi harapan untuk Laila, tapi apakah akan berhenti sampai di sini?
“Bagaimana kapten?” Tanya Haura, wajahnya cemas.
Kapten melambaikan tangan. Ya begitu lah. Lalu kapten Zoo pergi ke kantornya. Semua saling tatap tak mengerti. Apa Laila akan dibiarkan begitu saja? Apa mereka akan menunggu Laila meninggal?
~~~
Kapten duduk di kursi sofanya. Kepalanya pening sekali memkirkan nasib muridnya. Ini kejadian pertama yang menegangkan. Semua orang tentu meminta pertanggung jawabannya, apa lah nanti kata wali murid, bisa jadi tahun esok sekolah Petualang tak bermurid. Dia harus mencari jalan keluar, tapi bagaimana caranya?
Kapten Zoo menatap fotonya yang sedang berdiri di deretan saudara laki-lakinya, itu foto dia ketika sedang menghadiri wisuda keponakannya. Di bagian tengah terdapat keponakannya dengan menggunakan baju dan topi wisuda, di bagian pinggir sebelah kiri terdapat deretan ibu-ibu, dan deretan sebelah kanan terdapat deretan laki-laki, kapten Zoo termasuk di dalamnya.
Kapten Zoo tersenyum kecil, mengingat masa lalunya. Keponakan perempuannya itu menghabiskan masa kecil dan masa mudanya di rumah kapten Zoo sendiri. Orangtuanya sibuk bekerja, mereka tidak memiliki banyak waktu bersama anak mereka. Kapten Zoo bersedia menjaga dan merawat anak mereka. Setiap hari keponakannya itu ke rumah kapten Zoo, dari pagi hingga sehabis magrib. Meskipun sudah besar, keponakannya itu selalu bermain di rumahnya. Terkadang keponakannya ikutan masak bersama istri kapten Zoo, terkadang membantu pekerjaan rumah dengan senang hati. Kapten Zoo dan istrinya sangat menyayangi keponakannya itu, mungkin karena mereka tidak memiliki anak perempuan.
Kapten Zoo tersenyum lebar mengingat masa lalunya. Kini keponakannya itu telah sukses, lulus dari Universitas Gajah Mada. Dan kini keponakannya bekerja di Aulia Hospital, bekerja menjadi dokter umum dan…..
Tiba-tiba kapten Zoo tersenyum lebar sekali. Dia mengeluarkan ponselnya lagi. menelpon seseorang lagi, mungkin dokter juga.
Taninung, taninung, taninung….. taninung, tanin…
Tlit..
“Assalamualaikum.” Sapa Kapten Zoo.
“Waalaikumussalam. Ada apa man?” Di seberang sana seorang dokter muslimah, cantik dan muda bertanya.
“Kamu bisa ke sini, Lala?” Tanya kapten Zoo.
“Emm…” Dokter itu sepertinya memikir.
“Bisa. Lala kan cuti sebulan ini, cuti dokter baru, hehehe…” Jawab dokter itu.
Kapten Zoo merasa senang. “Kalau begituke sini sekarang ya.. Darurat.”
“Emang ada apa paman Zoo?” Tanya dokter itu.
“Di sekolah Petualang seorang anak berumur sepuluh atau sebelas tahun jatuh dari pohon. Sekarang keaadaannya sedang kritis.” Jawab kapten Zoo dengan nada khawatir.
“Innalillahi…” Sahut dokter itu.
“Ya sudah, sekarang Lala kesana ya, man.” Kata dokter itu.
“Oya jangan lupa siapkan Ikan kuah darah, ya man..” Lanjut sang dokter, ah sama saja dengan kapten Zoo suka becanda.
~~~
Tiiit, tiit…
Terdengar bunyi klakson mobil. Mobil itu menjadi perhatian para petualang, letnan, dan jendral. Mobil siapa itu? Orangtuanya Laila? Tapi itu mobil Livina, bukan mobil orangtuanya Laila. Seseorang keluar dari mobil itu, pengendaranya. Seorang perempuan berjilbab memakai kemeja dokter yang bewarna putih. Dokter muda, muslimah, dan cantik. Dokter? semua terperangah. Mereka tidak menelpon dokter lagi.
“Assalamualaikum.” Sapa dokter itu.
“Waalaikumussalam.” Semua menjawab salam dokter muda itu.
“Cepat juga kamu datang, Lala.” Tiba-tiba terdengar suara kapten. Dokter itu hanya tersipu.
“Jadi kapten yang menghubungi dokter ini?” Tanya Nazira tak sabaran.
“Iya, ini keponakan saya, namanya Lala.” Kapten memperkenalkan dokter itu. Dokter itu tersenyum hingga gigi serinya tampak.
“Mana yang sakit itu paman? Ikan darahnya nanti saja.” Tanya dokter Lala serius.
Kapten Zoo pun pergi ke UKS, yang lain mengikuti, termasuk dokter Lala. Kapten Zoo membuka pintu UKS. Terlihat Laila yang masih terbaring di bed pasien, keadaannya menyedihkan sekali. Dokter Lala begitu terkejut melihat keadaan Laila. Dia mengeluarkan stetoskop dari kopernya. Memeriksa jantung Laila. Lalu dia memencet sedikit. Iuuu… darahnya makin banyak keluar. Itu seharusnya menjadi pemandangan yang mengerikan, tapi yang namanya petualang Hitam Merah Putih berdarah berani dan kuat, mereka hanya bisa memejamkan mata. Ah, dokter Lala malah mangguk-mangguk.
“Kakinya patah.” Dua kata itu bagaikan petir di siang bolong.
“Lalu?” Tanya kapten Zoo.
“Lala akan coba obati.” Jawab dokter Lala. Kapten Zoo mengangguk puas.
“Kepalanya bagaimana tante..?” Tanya Yazid menarik-narik kemeja dokter Lala, dokter Lala hanya tersenyum.
“Tunggu diperiksa dulu lah pak..” Dokter Lala menjawab sambil menambahi sedikit bumbu gurauan. Semua tertawa, sedangkan Yazid malah garuk-garuk kepalanya sendiri.
“Dokter sama saja dengan kapten Zoo, suka bergurau.” Aulia sama saja dengan ibu-ibu, sok tahu.
“Kan ini mah anak angkat kapten Zoo.” Kata dokter Lala menepuk-nepuk dadanya.
Lalu dokter Lala pergi ke mobilnya, mengambil sesuatu. Itu adalah mesin… ah, apa lah namanya. Itu mesinnya buat periksa kesehatan bagian dalam, buat medis. Begitu saja penjelasan dokter Lala. Ah, zaman sekarang emang canggih. Ada WA, Facebook. Untuk sekolah pakai Ruang guru, untuk les elektro pakai @Cerivitas kak Sari ~Jaihan~ ^0^.
Dokter Lala memerintahkan agar semua orang keluar. Ya… Semua orang kecewa. Mau bagaimana lagi? Perintah dokter muda. Dokter Lala memulai aksinya. Cekatan dia memasang selang mesin untuk memeriksa pasien ke kepala Laila. Tinut, tinut, tinut. Hasilnya keluar di layar mesin itu. Apa lah maksud dari garis zig-zag merah dan angka juga huruf besar kecil itu? Hanya dokter yang tahu.
Dokter Lala mulai mengobati Laila. Pertama-tama, dia membedah kaki Laila. Memperbaiki posisi tulang dan lainnya. Lalu menjahit kembali kaki Laila dan memperbanya dengan perban yang bagus. Kaki Laila juga di lumurinya semacam obat. Lalu kepala Laila, dia membedah juga. memperbaiki tulang kepala yang sedikit keluar dari posisi. Lalu memasukkan berbagai obat dan cairan kedal kepala Laila. Setelah itu dia menjahit kembali kepala Laila. Dia sudah macam montir saja. Keringatnya sudah mulai keluar, maklum saja. Meskipun ruangan UKS ber AC, dia tetap merasa panas. Ini kan pengalaman pertamanya menangani orang yang terluka parah. Sebelumnya dokter Lala menangani pasien hanya dengan memberikan obat (Namanya dokter baru dan masih muda Jaihan..!!).
Selesai sudah kerjanya. Eits.. belum… (Jangan bosan ya Guys…^v^). Dokter Lala memasang kemabali selang-selang, ada yang ingin diperiksanya lagi. Dia mengetik sesuatu (Ini dokter apa penulis sih..?). Lalu dia memasukkan beberapa cairan kedalam mesin, dia memasukkan cairan itu kedalam sebuah lubang yang ada pada mesin itu. Ahhh… ajaib!! Mesinnya nggak rusak (Ihh.. Jaihan pura-pura nggak tahu nich..). Perlahan-lahan cairan itu masuk kedalam badan Laila lewat selang tadi.
~~~
Sliiit….top.
Dokter Lala keluar dari ruangan UKS. Wajahnya berseri-seri bagai cahaya. Semua orang ikut berseri, mereka tahu, ada kabar gembira.
“Alhamdulillah. Kepalanya sudah saya obati. Kakinya mengalami patah, tidak terlalu parah, saraf dan tulangnya sedikit melemah. Tiga atau empat hari lagi kakinya sudah bisa bergerak. Saya sudah bantu memperkuat tulang kaki dan kepalanya.” Jelas dokter Lala mengabari, disambut dengan rasa senang petualang.
“Tapi kakinya akan sedikit pincang untuk sementara.” Lanjut dokter Lala mengabarkan kabar buruknya.
“Hal itu sampai berapa bulan?” Tanya Yazid sok dewasa.
“Mungkin tiga bulan. Makanya jangan diganggu selangnya..” Jawab dokter Lala sembari mencubit dagu Yazid, Yazid menggosok dagunya yang dicubit.
“Dokter…” Panggil Haura mendekati dokter Lala.
Dokter Lala menatap Haura tersenyum. “Ada apa?”
“Boleh kami melihat?” Haura balik bertanya, tangannya menunjuk Laila yang tengah terbaring (Laila masih pingsan).
“Mengapa tidak boleh? Kau kan temannya.” Jawab dokter Lala. Haura mendengus, tadi saja dokter Lala suruh keluar.
Mereka masuk. Laila terbaring, kakinya dibalut perban dan dipasang selang. Kepalanya juga dibalut perban dan banyak sekali selang yang dipasang, mungkin lima atau enam atau tujuh atau…. bla,bla..
Laila masih belum sadar, lama sekali dia sadar. Petualang mulai bubar, melakukan aktivitas seperti hari-hari biasa. Hanya ada dokter Lala di UKS, dia menemani Laila. Oi, dokter Lala emang dokter yang baik. Berangsur-angsur garis zig-zag merah berubah menjadi kuning, angka-angka di layar mesin berubah menjadi rendah, dan hurufnya juga berubah, seperti G menjadi E. Senyum lebar mulai tergambar di wajah dokter Lala. Dia mengusap kepala Laila.
Hari mulai senja, langit begitu indah dihiasi warna oren kemerah-merahan……
Gelap seperti ruangan tak berlampu, hitam seperti rambut, dan luas seperti lapangan. Laila perlahan membuka matanya. Semua buram dan tak jelas. Dunia ini seperti berputar kencang. Auuu.. Laila merasakan sakit pada kepalanya. Dia menggeser kakinya sedikit. Uuuhh… Rasanya tumpul sekali dan sedikit sakit. Perlahan-lahan pandangannya mulai normal, tidak lagi kabur. Orang yang pertama dilihatnya setelah sadar adalah dokter Lala.
Laila Bingung, dia mencoba untuk mengingat hal yang terjadi. Bukankah tadi dia berada di atas pohon? Hendak memetik buah di ujung dahan? Lalu dahan itu bergoyang dan dia jatuh? Setelah itu dia tidak tahu kemana pandangannya, antara sadar dan tak sadar. Lalu? Apa yang terjadi pada dirinya? Dia berada di Rumah sakit? Lalu apa selang-selang ini? Seperti selang infus. Mengapa kepalanya sakit? Apa kepalanya terbentur? Ada apa dengan kakinya? Susah sekali digerakkan. Mengapa kaki dan kepalanya diperban? Ada apa dengan dirinya? Siapa perempuan ini? Berbaju putih? Dokter? Mana teman-temannya? Mana kapten Zoo? Mana para letnan? Mana Jenderal? Mana mereka yang tadi bersorak-sorak memberi dukungan pada dirinya?
Laila bangkit hendak duduk. Dokter Lala membantunya duduk, menegakkan bantal agar Laila bisa duduk. Laila tersenyum kecil, dibalas dengan senyum dokter Lala yang lebar.
“Dokter?” Tanya Laila perlahan.
Dokter Lala mengangguk. “Saya dokter Lala….”
“Ini Rumah sakit?” Laila bertanya lagi, menatap langit-langit ruangan.
Dokter Lala menggeleng sembari mengusap kepala Laila. “Kamu di UKS, sayang…”
“Sekolah Petualang?”
Dokter Lala mengangguk, dia tetap tersenyum.
“Ini apa?” Tanya Laila sembari memegang selang, cairan di dalam selang itu masih mengalir.
“Selang untuk mengirimkan obat ke dalam badan kamu, Laila…” Jawab dokter Lala tambah ramah.
“Dokter tahu nama saya?” Tanya Laila tersenyum-senyum.
“Teman-temanmu sering mengucapkan itu.”
Laila mengangguk.
“Kepala mu terbentur, kaki mu patah kecil, hanya berlansung empat hari. Tapi kaki mu akan akan pincang hingga tiga bulan.” DokterLala menjelaskan secara singkat.
Sliiit… top.
Pintu dibuka oleh dua orang. Waahh… Laila kenal siapa mereka!! Umi dan Abi!
“Umi!! Abi!!” Laila berseru senang.
Dokter Lala ikutan senang.
“Emm…” Dokter Lala seperti sedang memikir.
“Oya! Laila belum makan, kan? Sini saya ambilkan makanan.” Dokter Lala beranjak keluar.
Umi Laila memegang tangan dokter Lala.
“Tidak usah. Saya sudah bawa makanan.”
Dokter Lala tersenyum, tetap keluar (Mungkin dokter Lala mau makan Ikan kuah arah, kali ya? ^U^). Laila disuapin umi makannya. Tapi umi tidak bisa lama-lama, begitu peraturannya. Eahhh.. Lagian kan ada dokter Lala yang cantik dan baik hati. Malam itu Laila tidur di UKS
~~~
Benar kata dokter Lala. Setelah tiga hari, keadaan Laila membaik. Garis zig-zag sudah bewarna hijau. Semua bersorak. Laila tidak tidur di UKS lagi, horee.. (Ah, aneh. Enakan tidur di ruangan lah, daripada tidur di kemah, banyak nyamuk).
Hari ini hari Rabu, pagi. Laila akan berlatih jalan, setelah lama baring dan duduk di bed pasien (Keenakan dia!^8^). Laila memakai sepatunya.
“Jangan pakai sepatu itu, ntar nanti jatuh.” Komentar dokter Lala, tangannya ada di balik punggung, sepertinya dokter Lala punya sesuatu.
“Lalu pakai sepatu apa dokter?” Tanya Haura bingung.
Dokter Lala menyungging senyum. “Pakai ini! Sepatu untuk orang sakit.” Dokter Lala mengeluarkan tangannya.
“Wah itu untuk Laila?” Tanya Aulia sumringah.
“Di pinjam. Ini punya rumah sakit.” Jawab dokter Lala. Aulia membuka mulutnya lalu men ‘oh’ kecil.
Laila memasang sepatu coklat itu. Dia mulai berdiri, berjalan perlahan-lahan. Semua bersorak senang. Tiga hari yang lalu semua bersorak menyemangatinya memanjat. Kini semua bersorak menyemangatinya berjalan.
Hup..! Laila terjatuh setelah tiga langkah. Laila bangkit berdiri, melangkah kaki lagi. Hup! Dia terjatuh setelah enam langkah, Laila bangkit melangkah lagi. hingga beberapa kali dia terjatuh, tapi Laila pantang menyerah. Akhirnya Laila bisa berjalan lancar, tapi dia masih pincang, badannya masih goyang. Semua bertepuk tangan.
Laila menjalani hari-harinya seperti biasa, tapi sedikit berbeda. Laila lebih banyak berjalan hari ini. Hingga senja menjelang. Laila pulang ke kemah. Dia mengambil sesuatu dari koper tempat koleksinya. Pot bunga yang sangat cantik dengan bunga yang dibuatnya dari pipet (Tangkai bunga) dan kapas (Bunga). Bunga Dandelion di dalam pot cantik. Dia memasukkan pot dan bunga itu ke dalam kotak mika, lalu diikatnya dengan pita.
Laila bangkit berdiri. Dia menemui dokter Lala.
“Dokter Lala..!!” Laila berseru histeris sembari melambaikan tangan.
Dokter Lala mendekat. “Ada apa Laila? Histeris banget..!!”
“Ini dokter Lala..!!” Laila memberikan kotak mika itu. “Hadiah sebagai ucapan terimakasih buat dokter Lala.”
Dokter Lala terharu. “Ini hadiah terbaik.” Dokter Lala mengusap kepala Laila. Laila menyungging senyum, senyum yang manis sekali dari biasanya.
“Tapi, ada hadiah yang lebih baik dari ini.” Lanjut dokter Lala. Laila menunduk, pasti pasien-pasiennya memberikan hadiah yang mahal dan bagus dari pot ini, Pikir Laila.
“Jangan bersedih putri kecil…” Dokter Lala tersenyum. “Hadiah terbaik bagi seorang dokter adalah pasiennya yang sembuh karena jasanya, dan hadiah yang paling baik ada lah pasiennya yang pertama kali sembuh setelah menglami sakit parah. kamu lah orangnya Laila… Selama ini saya tidak pernah tahu, apakah pasien saya sembuh atau tidak? Karena saya hanya memberikan obat. Kamu Laila, sudah sembuh karena jasa ku.” Perkataan dokter Lala membuat Laila tersenyum manis. Perkataan dokter Lala begitu melekat pada hati Laila.

Tugas 7-Jaihan

Tema : Misteri

Judul : Penampakan Aneh di Pinggir Kemah

Penulis: Dzakiyyah Jaihan

Sampul depan

Sampul Belakang

Punggung buku: MB

Cerita:

Penampakan aneh di pinggir kemah
Allahuakbar, allahuakbar…
Suara itu berasal dari musolah. Petualang segera menuju kamar mandi untuk berwudhu. Berlari secepat mungkin agar bisa lebih dulu mendapat keran untuk berwudhu. Laila berjalan dengan santai, dibiarkannya saja Haura berlari kencang meninggalkannya. Jika nanti dia tidak mendapatkan antrian berwudhu di keran, toh dia bisa berwudhu di wc. Di wc kan juga ada keran. Tinggal geser ember di bawah keran itu saja kok, susah amat sih logikanya. Pikir Laila.
Dia tiba di kamar mandi paling akhir. Semua tampak sedang berebutan keran untuk berwudhu.
“Cepetan dong..! bentar lagi iqomat tuh..!” Begitulah teriakan mereka memanggil.
“Sabar dikit, ngapa?” Balas orang yang berwudh di keran. Begitulah mereka semua berkelahi mulut.
Laila dengan tenang dan hati lapang menuju wc. Ada yang tenang juga seperti Laila. Khansa adalah orang yang pendiam, tapi dia jarang sekali berkelahi. Bawaannya begitu tenang. Jika disuruh Khansa menurut saja. Kalau marah suaranya tegas dan lansung dipatuhi, mungkin karena dia jarang marah.
Laila keluar dari kamar mandi. Wajah, tangan, rambut, dan kakinya basah semua. Dia lewat di tengah kerumunan yang keras kepala itu. bajunya sedikit basah karena percikan air yang mengenai bajunya. Tapi kan, baju jadi bersih. Jika diomeli bajunya basah, selalu begitu jawabannya.
Laila segera mengambil mukenanya ke kemah, lalu segera menuju mushalah. Menunggu iqomat. Selain dia ada juga Khansa yang shalat tahiyatul masjid. Laila ingin ikutan, tapi baru saja dia mau takbir iqomat lansung terdengar. Laila pun lansung shalat. Dia bersebelahan dengan Khansa. Baru sekali ini dia shalat di sebelah Khansa. Ternyata Khansa itu shlatnya khusyuk sekali, tidak bergerak sama sekali seperti patung.
Terdengar suara derapan kaki yang bergumuruh, mushalah itu seperti gempa dibuatnya. Ternyata mereka anak-anak perempuan yang lengkap dengan sarung dan mukena. Mereka segera shalat di samping Laila dan Khansa. Takut benar mereka jika tertinggal satu rakaat saja. Mereka merapikan kembali mukena dan sarung ketika shalat.
Usai shalat mereka segera berkeliaran. Haura dan Laila menuju teras gedung papan. Mereka makan pregedel tahu yang dicampur mie sambil menikmati bintang-bintang malam. Haura bercerita sesuatu, sepertinya Horor.
“Tahu nggak kamu, semenjak kita membunuh singa banyak sekali kejadian yang mengancam di sini. Mungkin rakyat raja hutan itu sudah marah manakala mengetahui raja mereka mati.” Kata Haura sembari menatap hutan ngeri.
“Serigala masuk dalam area kita. Beberapa kali kita jumpai ular di dalam kemah.” Lanjut Haura sembari mengunyah pregedel.
Itu sepertinya sedikit masuk akal. Tapi bukan kah kawasan di pinggir hutan sering dijumpai binatang buas? Pernyataan Haura seperti dongeng saja.
Semua mengerumuni Laila dan Haura.
“Apa yang kalian bicarakan?” Tanya Humairoh.
“Cuman bicara soal binatang-binatang buas yang sering masuk ke area sekolah Petualang.” Jawab Haura enteng.
“Eh, kemarin senja aku nampak makhluk bertanduk loh..!” Seru Asad, dia memasang wajah ketakutan.
Semua ikutan takut. Asad tidak pernah berbohong.
“Yang benar?” Tanya Omar memastikan.
“Iya, benar.” Jawab Asad menatap wajah takut Omar.
“Makhluk itu mau mencari nek Nazira.” Yazid nyambung-nyambung saja bicara orang, pasti satu tujuannya, mencari masalah.
“Eh, Yazid ini ceritanya nyata loh! Nggak boong!” Kata Asad sembari menyenggol tangan Yazid. Sepertinya Yazid mulai ketakutan.
“Kalian benar-benar takut, nih..?” Tanya Asad serius, dia justru bukan serius lagi, tapi duarius.
Semua reflek mengangguk. Asad justru malah tertawa geli.
“Itu aja takut, sudah jelas aku kemarin senja nampak rusa..!” Kata Asad tertawa terbahak-bahak. Asad emang jahil, tapi bukan jahil pembuat masalah seperti Yazid.
“Ya, elah..! Pandai aja ngasih jebakan ke orang! Kirain benar.” Nazira jengkel. Asad masih tertawa dengan jebakannya sendiri.
“Kalian cerita-ceritain yang seram nanti betulan datang hantu. Hantu yang berbaju putih dan rambutnya terurai panjang. Ihh.., ngeri..!” Kata Ana menyilang kedua tangannya.
“Hiii..!” Terdengar suara menyeramkan.
Semua reflek berteriak ketakutan. Menghadap kebelakang, barulah mereka diam.
“Ihh.., kapten buat kami ketakutan aja!” Syifa’ mengomel.
“Ya, ngapain cerita-cerita hantu. Bukannya tidur.” Kata kapten sambil lalu.
Semua menggaru-garuk kepala. Padahal ini ceritanya seru banget.
“Kita tidur?” Tanya Haura sembari melihat punggung kapten Zoo yang semakin menjauh.
“Ya udah, ayo kita tidur.” Jawab Nazira bangkit berdiri. “Anak laki-laki, kalian bukan urusan aku. Anak perempuan ayo tidur sekarang, atau kalian mau shalat malam?”
“Udah, yuk Hau! Kita ke kemah.” Ajak Laila sembari mengamit tangan Haura.
Laila dan Haura meninggalkan teman-temannya yang masih asyik bercerita sambil makan cemilan. Laila memukul-mukul kasur tipisnya, begitu juga Haura. Mereka bersiap untuk tidur. Ah, cerita hantu tadi nggak usah diingat.
Laila menarik selimut tebalnya. Dia mulai memejamkan mata. Dalam sekejap tertutuplah matanya, Laila tertidur. Haura lebih dulu tertidur dibanding Laila.
~~~
Laila terbangun sekitar jam tiga malam. dia sesak kencing. Segera dilepasnya selimut tebal yang empuk itu, meskipun tebal selimut ini tidak bisa melindunginya dari hawa dingin. Lihat, sekarang dia sudah hampir ngompol.
“Jangan sampai aku pipis dalam celana.” Batin Laila ketika membuka pintu kemah yang berresleting.
Laila lari secepat mungkin ke kamar mandi. Uhh, untung dia tidak kebelet. Laila berwudhu sehabis buang air kecil. Selain sunnah, hal ini juga membuatnya tidur lebih nyenyak dan dingin. Eh, tapi nanti dia bakalan kebelet lagi.
Laila keluar dari kamar mandi. Dia menatap langit malam. Baru sadar, ternyata hari ini bulan purnama. Uihh.., indahnya..! Apa lagi ditemani bintang-bintang kecil. Ahhh.., tambah indah saja.
Laila berhenti, diam mematung. Degh! Jantungnya mulai berdegup kencang tak karuan. Apakah dia sedang bermimpi? Laila mencoba mencubit pipinya. Auu..! Itu sakit sekali. Ini bukan mimpi, ini nyata! Apa yang dilihatnya? Makhluk yang tak jelas bentuknya, tapi Laila bisa membayangkannya. Makhluk dengan rambut hitam mengkilat yang tergerai hingga selutut, bukan! Tapi sebetis..! Makhluk itu berbaju putih. Penampakan aneh ini seperti yang di ucapkan Ana lepas isya kemarin. Laila berdiri mematung, mencoba mengatur nafasnya yang terengah-engah. Laila mencoba untuk mendekati makhluk itu, ingin melihat lebih jelas lagi. Tapi kakinya kaku, tak bisa digerakkan. Mulutnya membisu, sama sekali tak bisa dibuka.
Laila masih diam mematung. Sesaat kemudian ada yang memegang pundaknya. Hampir Laila berteriak, dia mengira ada makhluk yang memegangnya. Tapi untung lah, Haura yang menyentuh bahunya.
“Kenapa tengah malam begini kamu masih di luar?” Tanya Haura sembari mengucek matanya, suaranya kecil dan serak.
Laila menunjuk makhluk aneh itu, yang berdiri di pinggir kemah Enisya dan Khansa. Haura hampir berteriak, tapi untung Laila segera menutup mulutnya. Haura segera mengendap-ngendap pergi ke satu kemah lalu ke kemah yang lain. Semua berkumpul di tempat Laila mematung. Melihat penampakan aneh itu, sungguh menyeramkan sekali.
“Ini gara-gara kamu Ana. Kamu menyebut ciri-ciri makhluk itu, lihat sekarang dia benar-benar muncul.” Bisik Humairoh sambil menjawil tangan Ana. Ana hanya diam, tidak menyangka ucapannya menjadi nyata.
“Aku takut tidur, hantu itu berada di samping kemah ku…” Serak terdengar Enisya mengucap. Dia menunduk, ketakutan.
“Eh, Asad. Kamu bunuh aja makhluk itu, wish.. keren sekali jika kamu membunuhnya. Nama kamu akan dikenang oleh seluruh rakyat Indonesia.” Dalam keadaan tegang begini pun Yazid masih mau bergurau.
Asad menggeleng, ini tampak lebih seram dibanding si Raja. Dia saja tidak tahu itu makhluk apa.
“Ah, masa makhluk itu lebih seram dari pada Singa. Makhluk itu kan tidak menerkam kita. Jadi bunuh saja..!” Yazid membujuk Asad. Dia seperti bisa pula membunuh makhluk itu.
“Kamu aja yang bunuh. Bisa?” Tanya Asad menantang Yazid. Yazid hanya garuk-garuk kepala, melihat Singa saja dia lari, apa lagi membunuh makhluk menyeramkan ini pula. Mungkin yang mati bukan hantu itu melainkan dia sendiri karena jantungan.
“Aku tidak berani tidur jika hantu itu masih di pinggir kemah itu.” Enisya berkata serak.
“Kamu bisa tidur di kemah kami untuk sementara.” Ujar Aulia menyikut lengan Enisya.
“Eh, bagaimana dengan Khansa?” Tanya Ana setelah menyadari Khansa tidak hadir.
“Hah! Iya! Khansa di mana?” Enisya kepalangan, dia juga baru menyadari Khansa tidak ada.
“Apa jangan-jangan makhluk aneh itu telah memakan Khansa..!” Yazid mengarang, dia tidak serius, hanya ingin menambah ketakutan, jahil.
“Oii! Kalau memang iya kenapa makhluk itu tidak memakan Enisya sekalian?” Nazira bertanya sambil melototkan mata kepada Yazid.
“Eh, karena Khansa lebih banyak dosanya.” Yazid menjawab asal tanpa merasa berdosa.
“Kalau hantu itu memakan orang yang dosanya banyak, tentu yang lebih pantas dimakan itu kamu, Yazid!” Nazira mengancungkan telunjuknya kepada Yazid, matanya makin melotot. “Lagi pula hantu itu menginginkan orang yang banyak pahalanya, ingat! Hantu itu Iblis, bukan Malaikat. Orang yang amalannya banyak juga akan sulit untuk diganggu oleh hantu, jin, dan setan.”
“Kalau begitu Khansa adalah pemilik hantu itu, dia pasti berteman dengan hantu itu. mungkin sekarang dia sedang mencari makanan buat hantu itu dan hantu itu sedang menunggunya.” Omongan Yazid tambah ngaur dan tambah membuat Nazira kesal.
“Berperasangka yang baik Yazid bin Nu’man! Bukan yang buruk..!!” Nazira berkata lantang, tangannya mengepal, ingin sekali rasanya dia memukul Yazid.
“Ai..? Dari mana kamu tahu nama nasabku?” Yazid mengalihkan pembicaraan.
“Manalah ku tahu. Waktu itu aku nampak saja di buku tulis mu.” Jawab Nazira, kemarahannya masih tersisah.
“Jadi Khansa itu dimana?” Tanya Laila teringat masalah utama mereka.
“Di sini, kenapa kalian keluar? Nanti kena marah kapten.” Terdengar suara yang menjawab. Suara itu tak asing lagi.
Semua berbalik badan. Ada Khansa di belakang mereka. Wajahnya cemberut, sepertinya dia merasa terganggu. Apakah tadi dia tidur? Tapi kenapa Enisya tak tahu?
“Di pinggir kemah kita ada hantu.” Enisya menjawab pertanyaan Khansa. Perasaannya antara lega dan takut. Lega karena Khansa telah tiba, dan takut karena masih ada hantu di pinggir kemah mereka.
Khansa berbalik kebelakang. Menatap sekeliling kemah, mencoba menajamkan mata. Tapi dia tak melihat apa-apa, hanya seeokor burung hantu yang bertengger di dahan yang daun-daunnya telah gugur.
“Hanya burung hantu. Kalian pasti salah lihat.” Khansa berucap pendek, menatap heran ke arah teman-temannya.
Enisya dan yang lainnya melihat ke pinggir kemah lagi. Benar, hantu itu sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya burung hantu yang bertengger di dahan salah satu pohon yang gugur daunnya.
“Eh, tadi ada.” Enisya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dia bingung, perasaannya tadi ada.
Khansa geleng-geleng kepala, dia hanya bisa heran melihat teman-temannya. “Sudah yuk, kita tidur.”
Mereka kembali ke kemah masing-masing. Misteri ini belum bisa dipecahkan. Ini adalah tugas menurut Laila, harus diselsaikan dengan cepat.
~~~
Besoknya, matahari mulai naik. Sinarnya membawa kehangatan bagi seluruh petualang di pagi yang cerah ini. Keringat mulai membasahi pelipis dan kening. Sinar pagi itu mengandung vitamin E yang berguna bagi seluruh makhluk hidup. Biasanya ibu-ibu yang baru punya bayi selalu menjemur bayi mungilnya di tengah sinar matahari pagi seperti ini. Agar bayinya yang baru lahir sehat wal a’fiyat.
Petualang berkumpul seperti biasanya. Sekarang mereka bercerita soal kejadian malam kemarin.
“Aku masih curiga tentang makhluk itu. masa sih, datang Khansa makhluk itu lansung menghilang.” Syafiq memulai percakapan.
“Mungkin dia takut sama Khansa.” Asad serius sekali menjawabnya. “Kamu kasih apa hantu itu Khansa, sampai dia takut sama kamu?” Asad mulai bercanda, melirik Khansa minta jawaban.
Khansa menggeleng, bagaimana mungkin dia memberikan sesuatu sedangkan dia sendiri tidak melihat hantu itu di pinggir kemah.
“Kita harus memecahkan misterius ini.” Laila tiba-tiba berkata, memecahkan suasana. Ai, itu serius sekali.
“Sepertinya itu perkara yang amat serius.” Kata Omar sembari mengelus dagunya. Laila mengangguk.
“Tapi bagaimana kita akan memecahkannya?” Tanya Humairoh, ini pertanyaan yang serius.
“Dengan berjaga-jaga.” Laila menjawab singkat.
“Oi? Apa kita akan bergadang sepanjang malam?” Tanya Thalha, dia jelas sangat terkejut dengan jawaban Laila. “Aku tidak ingin jadi pemalas paginya.”
“Sedangkan tidak bergadang saja kamu malas, seperti di rumah, tunggu disiram dengan air satu gayung baru bangun.” Timpal Aulia (Kakaknya Thalha) kesal. Thalha hanya bisa melototkan mata, karena memang begitu faktanya.
“Kita juga perlu strategi.” Laila melanjutkan pembicaraannya.
“Bagaimana strateginya?” Tanya Haura menatap Laila.
“Ketika Haura memanggil Enisya, Enisya keluar lewat belakang. Perhatikan baik-baik wajah makhluk aneh itu. Lalu laporkan kekami. Terus kita akan memberitahu kapten segera, ketika kita memanggil kapten harus ada dua atau tiga orang yang tinggal di tempat untuk menjaga makhluk aneh itu jika nanti kabur. Jika makhluk aneh itu kabur, perhatikan arah kaburnya. Lalu laporkan kepada kami dan kita akan mencari jejaknya.” Laila menjelaskan strategi panjang lebar. Semua mengangguk mendengarnya, ini akan menjadi misi yang seru..!
~~~
Hari mulai gelap, malam pun tiba. Sehabis shalat `isya, petualang tidur di kemah masing-masing. Ketika kapten Zoo lewat mereka berpura-pura tidur, lalu bangun lagi. Mereka memaksa mata tetap terbuka. Tapi satu persatu mulai tertidur, tidak tahan lagi menahan kantuk. Sedangkan Laila tetap membuka matanya meski Haura tertidur di sampingnya.
Laila terkantuk-kantuk, entah sudah jam berapa sekarang. Saat itu lah terdengar suara derapan kaki di atas rumput. Sepertinya ada yang sedang berjalan. Oi..! Itu terdengar menyeramkan. Laila diam-diam melihat keluar dari jendela di pintu kemah. Tidak ada apa-apa, kosong. Yang ada cuman kemah-kemah petualang dan padang rumput luas, juga pepohonan dan bukit yang kelihatan dari jauh. Laila pun kembali ke tempatnya. Mungkin tadi itu suara binatang yang sedang berjalan di atas rumput. Atau dia mungkin salah dengar.
Mata Laila hampir tertidur beberapa saat setelah mendengar suara tadi. Tapi suara itu kembali terdengar. Laila dengan pelan dan lemas mengintip dari jendela pintu. Hah..! Laila melihat ada makhluk yang kemarin juga di samping kemah Enisya dan Khansa. Makhluk itu sekarang sedikit tersembunyi.
Laila segera mengguncang kuat tubuh Haura. Haura terlonjak kaget, dia bangun. Bingung dengan kelakuan Laila.
“Ada apa?” Tanya Haura sembari mengucek-ngucek matanya.
“Kamu harus segera memanggil teman-teman kita! Makhluk aneh itu telah tiba!” Jawab Laila begitu tegang, ekspresi tegang itu jelas sekali tergambar di wajahnya.
Haura bangkit keluar kemah, diikuti oleh Laila. Laila menunggu agak jauh dari makhluk aneh itu, sedangkan Haura memanggil semua teman-temannya. Tak lama kemudian berbondong-bondong petualang keluar, berdiri di sekitar Laila. Terakhir yang keluar adalah Enisya, pastilah tadi dia memperhatikan wajah makhluk aneh itu.
Eh, ternyata dugaan kita semua salah.
“Bagaimana En?” Tanya Laila serius.
“Bagaimana apanya?” Enisya bertanya balik.
“Rupanya?”
Enisya lansung salah tingkah.
“Hmm… Aku lupa memperhatikannya Lai..” Enisya berkata pelan. “Aku ketakutan ketika dipanggil. Sialnya jilbabku susah dicari.” “Maaf, Laila..”
Laila menarik nafas, sudah takdir. Dia berusaha bersabar atas kesalahan pertama. Semua pasti melakukan kesalahan, lagian tugas Enisya itu cukup tegang. Laila tak tega menegurnya, hanya diam. Enisya sepertinya sudah mulai trauma atas kejadian ini.
“Tidak apa-apa Enisya, aku tahu ini cukup berat buat kamu.” Kata Laila sembari tersenyum, dia mengusap punggung Enisya.
“Lai, lansung saja kita panggil kapten, agar semuanya segera terbongkar.” Usul Humairoh cepat.
Laila mengangguk. “Yazid dan Nazira, kalian berjaga di sini.”
Oi, itu kabar yang buruk sekali bagi Nazira dan Yazid. Kalian tentu tahu, mereka berdua tidak akan pernah bisa akur. Satu TJPM (Tukang Jahil Pembuat Masalah), Yazid. Yang satunya lagi garang dan keras, baik fisik, akal, maupun kepala. Nazira.
Laila dan yang lain segera pergi kerumah kapten yang berada di area petualang juga, tak jauh dari kemah. Tugas memanggil kapten ini berjalan lancar. Tapi kacau sekali yang terjadi pada Nazira dan Yazid, sehingga membuat mereka lalai menjaga makhluk aneh itu. tentulah Yazid yang memulainya.
“Nazira, sini dulu.” Panggil Yazid. Nazira mendekat.
“Oii.. nenek Nazira..” Yazid berkata sambil menahan tawa, dia mulai membuat masalah.
Nazira marah besar. Diambilnya ranting yang tergeletak di kakinya, lalu dia melempar ranting itu kearah Yazid.
“Katakan yang penting-penting saja..!” Nazira berseru sebal.
“Eh, itu penting.” Ucap Yazid tanpa merasa bersalah.
“Itu tidak penting..!” Teriak Nazira lagi, dia meraih batu yang ada di tanah berumput, hendak melempar kearah Yazid.
“Ehh, hati-hati. Kalau kepalaku pecah ganti dengan kepalamu.” Kata Yazid sembari mengembangkan jarinya.
“Bukan pakai kepalaku! Pakai kepala makhluk aneh itu..!” Ucap Nazira sambil menunjuk ke pinggir kemah tanpa melihat.
Wajah Yazid seketika berubah menjadi gusar. Selera bertengkarnya hilang begitu saja.
“Berhenti berkelahi. Kita punya masalah.” Kata Yazid sambil menatap gusar ke pinggir kemah.
Nazira ikutan melihat. Ai! Tidak ada lagi makhluk aneh itu, sudah menghilang! Mereka akan mengatakan apa nanti kepada Laila? Percuma saja mereka berjaga, tidak ada hasilnya. Nazira dan Yazid saling menyalahkan.
“Ini gara-gara kamu, Yazid.” Nazira berkata geram.
“Ha?” Yazid justru malah bingung.
“Kamu yang pertama kali mencari masalah.” Nazira menunjuk tajam ke arah Yazid. Yazid tentu tak terima meski yang dikatakan Nazira benar.
“Kamu yang memper panjang.” Balas Yazid melototkan mata.
Nazira tambah geram. “Ihhrg… Kan kamu yang menjadi akarnya! Kita lalai gara-gara kamu tahu!!”
Lalu terdengar suara obrolan. Nazira dan Yazid siap menerima omelan.
“Kami benar-benar melihatnya kapten. Rambut makhluk itu panjaaang sekali, pakaiannya warna putih.” Kata Thariq melihat kapen serius.
“Kita sudah sampai kapten, itu hantunya.” Tunjuk Laila, tangannya menunjuk ke pinggir kemah Enisya.
Mereka semua terdiam, kemana hantu itu menghilang?
“Mana hantunya?” Tanya kaptem memecah kesunyian.
“Tadi ada di situ, kapten.” Laila menjawab polos.
“Mungkin kalian salah lihat.” Kata kapten geleng-geleng.
“Ahh.. tidak kok, kapten…” Laila buru-buru menggeleng, mereka tentu tak salah lihat.
“Nazira! Yazid!” Panggil Laila membalikkan badan ke arah Nazira dan Yazid.
Nazira dan Yazid terkejut, salah tingkah. Tentu mereka bingung ingin mengatakan apa.
“Kemana perginya hantu itu?” Tanya Laila menatap curiga Nazira dan Yazid.
Nazira menyepak kaki Yazid, dengan maksud agar Yazid menjawab. Tapi disambut dengan wajah ling lung Yazid. Nazira dan Yazid sama-sama tertunduk.
“Kami tidak tahu.” Nazira berucap pelan, dia tertunduk lebih dalam.
“Bagaimana bisa?” Ana tak sabaran.
“Semua ini gara-gara kamu, tuh, Yazid!” Nazira menyalahkan Yazid, Yazid hanya melotot (Merasa tak bersalah).
Kini Laila menyadari kekeliruannya memilih penjaga. Nazira dan Yazid tak bisa bersama, masalah akan bertambah jika begini. Gagal sudah rencana mereka.
“Kalian sudah berkumpul rupanya.” Tanpa sadar ada yang memecah keheningan. Siapa? Itu adalah Khansa!
“Khansa!” Semua berseru kaget. Khansa hanya biasa-biasa saja.
“Oi, Khansa! Sudah dua kali kejadian. Hantu itu hilang, kamu datang. Kamu pemilik hantu itu, ya?” Yazid bertanya serius, meski lagaknya seperti mau mencari masalah.
“Kamu jangan nuduh dong.. Aku nggak pernah sekeji itu.” Jawab Khansa sabar, wajahnya datar.
“Lalu kamu ngapain dan kemana tadi?” Tanya Yazid ingin tahu.
“Hanya di kemah, tidur.” Jawab Khansa polos, yang lain mulai curiga. Entah benar yang dikatakan Khansa entah tidak.
“Sudah lah. Dari pada ribut-ribut mendingan aku tidur lagi.” Khansa kembali masuk kemah dengan santai. Tak ada tersisah wajah sebal, hanya bingung dengan teman-temannya.
Semua saling tatap. Kapten kembali ke rumahnya dan petualang kembali ke kemah. Tapi mereka susah sekali memejamkan mata. Masih terpikir tentang Khansa dan hantu tadi. Laila mencoba memejamkan mata, tapi tidak bisa. Kali ini matanya tak mau tidur. Hingga adzan subuh berkumandang mereka tak tidur.
~~~
Ini malam ketiga. Laila berharap berhasil memecahkan MISTERIUS ini. Dia tidak ingin gagal lagi. Setidaknya dia tahu tempat tinggal hantu itu.
Srrrt….
Suara menyeramkan itu mulai terdengar. Jantung Laila mulai berdebar tak karuan. Kali ini harus berhasil, perkataan itu diucapkan Laila berulang kali. Dia mulai mengendap-ngendap keluar kemah, tidak membangunkan Haura terlebih dahulu. Lebih baik tak ada yang ikut, begitu pikir Laila. Laila mulai beraksi. Dia mengambil sepotong kayu. Sambil membawa kayu dan senter dia mendekat ke makhluk aneh itu.
Satu…
Dua…
Ti…ga.
Laila mengangkat kayu ke udara, lalu memukulkannya ke makhluk aneh itu.
Ssstt… meleset.
Pukulan Laila meleset. Eh, apa yang dilakukan hantu itu? Rukuk? Laila mulai ling-lung. Orang shalat! Dia mulai sadar. Makhluk ini bukan hantu, melainkan orang yang sedang shalat. Yang hitam itu adalah telekung, bukan rambut. Yang putih itu rok, bukan baju hantu. Rasa antusias Laila naik. Dihidupkannya senter, lalu mengarahkannya kewajah orang itu.
Setelah melihat wajah orang itu, Laila berdiri terpaku. Khansa? Ternyata Khansa yang selama ini dikira hantu! Khansa memejamkan mata karena silau. Laila berteriak histeris. Semua terbangun karena terkejut. Segera berlari keluar kemah, menuju Laila yang diam terpaku.
“Apa Lai?” Tanya Haura khawatir. Laila menunjuk Khansa yang berdiri shalat.
Semua akhirnya sadar, Khansa lah hantu itu. Eh, tapi dia ternyata sedag shalat. Sehabis shalat, mereka semua bertanya banyak hal pada Khansa.
“Kalian kenapa sih ganggu orang shalat? Kamu juga Laila, kenapa senter mata ku? Silau..!” Tanya Khansa mengomel, dia memandang teman-temannya satu persatu.
“Eh, aku ingin lihat wajah kamu. Aku kira kamu itu hantu atau siapa lah.” Jawab Laila sambil menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal dengan pertanyaan Khansa.
“Hantu emang shalat?” Tanya Yazid tidak serius, yang jelas dia mau memulai keributan.
“Kan sebelumnya Laila kira hantu, TJPM!” Nazira yang menjawab sembari melototkan mata. Yazid balas melotot.
“Tapi Khansa, kami bukan ganggu kamu. Kami cuman tercengang, yang kami kira selama ini hantu ternyata adalah kamu.” Kata Aulia tersenyum manis, mencoba membuat suasana tenang. Khansa membalas dengan senyum tipis.
“Kamu kok nggak pernah ngasih tau kita kalau kamu yang menjadi hantu?” Tanya Asad datar.
“Aku aja nggak tau hantu apa yang kalian sebutkan itu. Aku kan juga nggak percaya sama cerita bohong, mana ada hantu. Kita sering ngaji dan shalat, Allah menjaga kita. Kita juga dilindungi para Malaikat. Hantu itu nggak ada, yang ada setan. Lagi pula jika kita banyak amalannya, setan akan sulit mengganggu kita.” Jelas Khansa memberi pemahaman.
“Oi! Tapi aku benarkan?” Tanya Yazid, sepertinya dia ingin mencari masalah lagi.
“Benar apanya?” Yang lain balik bertanya, bingung dengan pertanyaan Yazid.
“Eh, lupa ya..? Benar kan Khansa adalah pemilik hantu itu?” Yazid melengkapi pertanyaannya.
“Khansa bukan pemilik hantunya. Tapi dia yang menyamar jadi hantu.” Jawab Enisya sebel.
“Aku bukan menyamar! Tapi kalian yang mengira!” Kata Khansa sedikit berteriak, dia tidak mau dituduh sembarangan.
Semua kembali tenang, bertanya tentang yang lain sambil menunggu subuh. Laila sudah tiga hari ini bergadang. Usahanya tak sia-sia, membuahkan hasil. Misterius ini akhirnya TERPECAHKAN!!

Tugas 6-Jaihan

Tema: Hobi

Petunjuk Cerita : kolektor, kerajinan tangan

Petunjuk Gambar: pink, ungu, kolektor dan kerajinan tangan

Judul : Pentas Hobi

Nama Penulis : Dzakiyyah Jaihan

Sampul depan:

Sampul Belakang:

Punggung Buku:

Cerita:

Pentas hobi
“Petualang…!!”
Suara tak asing lagi bagi petualang, suara yang harus disambut dengan semangat dan teriakan yang menggelegar.
“Hormat kapten!!” Suara itu segera di sambut para petualang dari tengah lapangan. Mereka masih bermalas-malasan di sabtu pagi ini (bukan kah seharusnya semangat?). Badan mereka tak juga kunjung bergerak dari duduk, baring, dan menyandar. Mungkin mereka perlu sesuatu untuk menambah semangat. Hmm, tapi apa? Untungnya kapten selalu punya jawaban dan cara agar mereka semangat.
“Oi?” Kapten heran dengan cara mereka menyambut panggilan. Kapten tahu mereka kurang semangat, semangat mereka hampir padam. Hampir bukan berarti sudah, masih bisa dibakar lagi semangat mereka.
“Kalau mereka seperti ini… bagaimana caranya mereka akan naik pentas?” Gumam kapten sambil mengelus-ngelus dagunya. Kapten sengaja membesarkan suara agar petualang mendengarnya.
“Eh, aku nggak salah dengar ya, tadi? Kapten mengatakan kita naik pentas?” Tanya Khansa bangkit duduk, dia memperbaiki lagi jilbabnya.
“Aku juga dengar seperti itu.” Jawab Nazira sembari menatap kapten.
“Oi! Kapten bilang apa tadi?” Teriak Yazid dari kelompok laki-laki. Memang begitu lah kebiasaannya, bertanya dari kejauhan.
“Kita akan naik pentas!!” Aulia membalas teriakannya.
Reflek mereka bangkit berlari menuju kapten. Tapi, kapten lebih dulu mengulang panggilannya.
“Petualang..!!”
“Hormat kapten..!!!” Dengan semangat pasukan Badar mereka menjawab.
Kapten tersenyum lebar melihat semangat mereka.
“Kenapa tidak pakai semangat 45?” Tanya kapten membuka pembicaraan. Begitu lah kapten Zoo asal mau bicara, selalu menyelipi bumbu-bumbu canda dan gurauan.
“Angka di bawah lima puluh itu angka sial loh kapten! Abang saya bilang angka ganjil juga angka sial.” Jawab Ana, semua melotot ke arahnya.
“Percaya aja sih kamu dengan tahayul!” Kata Nazira, matanya semakin melotot.
“Hei, jangan lah marah-marah nanti cepat tua. Nasihati dengan baik nek..” Kata kapten dengan nada bercanda.
Semua tergelak. Nazira kan emang cocok jadi nenek-nenek.
“Ah, dia kan masih muda kapten jadi kak Ros saja lah. Ha, ha!” Kata Yazid membuat masalah lagi. Tuh, kan. Yazid emang cocok digelar TJPM (Tukang Jahil Pencari Masalah).
“Baik lah semuanya! Jangan berkelahi. Ada pengumuman!” Kapten melerai sembari menatap petualang satu persatu.
“Hari Minggu, tepatnya besok. Kalian akan naik pentas, menampilkan hobi kalian dengan gaya. Jadi persiapkan gerakan-gerakan kalian, gaya kalian, mental kalian, pembicaraan kalian, dan hobi kalian tentunya yang harus dipersiapkan. Jangan malu-maluin. Nanti kalian semua akan diberi piagam dan hadiah. Bagi siapa yang bagus penampilannya, akan diberikan medali dan piagam “Sukses pentas cilik”. Medalinya hanya satu dan hanya satu orang yang berhak menerimanya. Ini bukan medali biasa ya, ini Medali EMAS!! Ini bukan perlombaan tapi ini pentas hobi. Untuk melatih keberanian kalian tampil di depan umum.” Jelas Kapten mengobarkan semangat petualang lagi.
“Semoga besok kalian bisa duduk di SINGGAH SANA.” Kapten mulai menambahi dengan bumbu canda.
“Bah, bisa emang kalu besar kita duduk di sana?” Tanya Thalha kurang percaya.
“Tiggal pergi kalian ke SANA, setelah itu SINGGAH kalian.” Jawab kapten bercanda, mengundang tawa semua petualang.
~~~
Setelah urusan selesai, mereka pun bubar. Mencari dan memikirkan hobi masing-masing. Satu persatu mendapatkan hobinya. Nazira hobi menunggang kuda, berakrobat lah dia dengan kudanya. Ikrimah hobi memanah, meluncur lah dia dengan panahnya. Asad haobi berpedang dan menembak peluru, berekting lah dia dengan pedang dan pistolnya. Aulia hobi memasak, bermain lah dia dengan bumbu dapur. Dan masih banyak lagi yang berlatih untuk penampilan hobi.
Tinggal lah Laila seorang diri memikirkan hobi. Haura sudah mulai berlatih mendekorasi, dia tidak punya waktu lagi bersama Laila. Laila terus memikir hobinya. Dia masih belum mendapatkan hobinya. Pusing sekali kepalanya. Bosan mencari hobi terus menerus.
Diambilnya botol-botol plastik bekas yang sudah dibersihkan dari kardus Pop mie (kardus itu sudah tidak dipakai lagi). Seperti kebiasaannya, tangannya cekatan menyulap botol-botol itu menjadi sebuah benda yang indah, cantik, dan imut.
“Haura.” Panggil Laila sembari terus menggerakkan tangannya. Dia sedang mengelem kaleng menggunakan lem setan, takut benar dia jika lem itu mengenai tangan putihnya.
“Hmm?” Tanya Haura terus berlatih menghis benda.
“Emm.., kamu tahu nggak aku ini hobinya apa?” Tanya Laila menghentikan gerakan tangannya, dia menatap Haura.
Haura ikut berhenti balas menatap Laila. “Seperti yang kamu lakukan sekarang.”
Haura kembali berlatih.
“Maksud kamu…, mengubah barang bekas?” Tanya Laila, dia menatap Haura serius.
Haura mengangguk seraya berkata, “Kamu juga hobi sekali mengoleksi buku-buku, terutama buku cerita dan novel. Oh, ya! Kamu juga hobi mengoleksi kerajinan tangan, baik itu yang kamu buat maupun orang yang buat.”
“Makasih ya, Haura!” Kata Laila sembari memeluk Haura erat. Justru Haura wajahnya bingung, kenapa dia begitu bahagia? aku tidak melakukan apa-apa. Mungkin begitu maksud ekspresi wajah Haura.
~~~
Mulai lah Laila berlatih. Kini pikirannya tidak lagi pusing memikirkan hobi, tapi memikirkan apa yang akan dilakukannya? Bertanya ke Haura lagi? Mana mungkin! Haura saja sibuk dengan latihannya.
Laila tersenyum. Kenapa dia tidak melihatkan cara mengubah barang bekas menjadi benda yang cantik saja? Lalu dia nanti akan menampilkan koleksinya dan dia akan menerangkan tentang koleksinya itu satu persatu. Dia menatap bangga koper pink nya. Di dalam koper pink itu lah dia mengoleksi buku-buku dan kerajinan tangan. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah menjadi ling lung. Tidak mungkin dia sambil menenteng koper itu ketika di pentas nanti, itu akan membuat penampilannya rusak.
“Oh, ya! Aku kan bisa meminjam rak kayu dengan letnan Fairuz!” Seru Laila girang.
Laila pun bangkit keluar kemah. Dari teras gedung papan itu dia bisa melihat teman-temannya sedang berlatih di lapangan. Di sana tampak Nazira sedang berakrobat dengan kudanya. Wajahnya garang, membuat ngeri para petualang.. Sesekali dia berteriak memanggil nama kudanya “Ziman..!” Teriaknya sambil memukul. Kuda itu lansung mematuhinya.
Dia pun sampai di gudang.
“Pak Dun, letnan Fairuz mana?” Tanya Laila.
“Lagi ngurus sesuatu di kota.” Jawab pak Dun, nama asli pak Dun aslinya pak Midun, tapi orang-orang sering memanggilnya pak Dun.
“Mau apa anak gadis?” Tanya pak Dun.
“Gini pak, besok kan ada acara pentas hobi nih. Jadi saya mau pinjam rak, raknya nggak usah yang besar yang sedang aja.” Jawab Laila menerangkan.
“Kamu mau yang seperti apa? Ada banyak jenis rak yang sedang itu.” Tanya pak Dun.
Laila jadi bingung, dia saja tidak tahu model-model rak, apa lagi namanya. Yang dia tahu rak itu ada dua macam, rak dinding dan rak berdiri yang seperti lemari itu cuman tidak berpintu. Nah dia mau yang rak berdiri ini, rak berdiri ada dua macam pula. Yang beroda dan yang tidak beroda, dia tahu itu dari Abi. Dia menginginkan rak beroda agar mudah didorong.
“Aku mau rak tegak pak Dun, yang beroda.” Kata Laila menjelaskan ciri rak yang diinginkannya itu.
“Kamu lansung lihat di sana saja.” Kata pak Dun sembari menunjuk kearah ruangan tak berpintu.
Laila pun pergi ke ruangan itu. banyak sekali rak-rak tegak di sini. Dia melihat rak-rak itu tajam. Akhirnya dia menemukan satu rak yang cantik sekali dan cocok untuk tempat koleksinya. Rak tegak beroda dengan dua tempat rak dan dua tempat gantungan. Oh.., itu sungguh cantik dan pas dengan yang diinginkan Laila. Laila menarik keluar ruangan rak tegak itu.
“Pak Dun, Laila ambil yang ini ya..?” Tanya Laila berseri-seri.
Pak Dun tersenyum. “Ambil saja non kalau kamu senang dengan rak itu.” Jawab pak Dun ikutan senang. Pak Dun emang begitu, dia selalu mengiyakan dan membolehkan seseorang mengambil sesuatu, asalkan orang itu senang.
Laila mengubah posisi, kini dia mendorong bukan menarik. Kalian tahu, dua gaya itu mempunyai tujuan yang sama. Yaitu memindahkan benda. Laila pun membawa masuk rak itu ke dalam kemah.
“Laila, kalau benda itu tidak ada gunanya, lebih baik kamu keluarkan. Rak itu membuat sempit kemah kita Lai..!” Ujar Haura, dia merasa kesempitan dengan adanya rak itu.
“Ini untuk sementara. Jika petas hobi sudah selesai, aku akan kembalikan rak ini kepada pak Dun. Rak ini akan aku gunakan sebagai sarana latihan dan akan ku gunakan ketika peampilan nanti.” Terang Laila sembari membersihkan debu dari rak itu dengan kemoceng.
Haura meneruskan latihannya. Laila membuka koper pinknya. Dia memiliki dua koper pink, satu koper biasa yang beroda dan berkantong (Travel bag). Yang satunya lagi koper tanpa roda dan kantong, di dalamnya terdapat dua tingkat.. Tingkat atas sebagai pintu tingkat bawah. Volume tingkat bawah lebih besar dari pada volume tingkat atas. Di bagian bawah penutup koper itu ada tempat gantungan. Laila menggantung gelang, cincin, dan kalung yang dibuatnya sendiri. Di tingkat bawah, Laila mengoleksi buku-buku kisah, cerita, dan novel. Dia juga mengoleksi pot-pot bunga yang dia buat sendiri, di dalam pot itu terdapat bunga yang terbuat dari kain flanel, ada juga yang terbuat dari botol plastik dan pipet. Di tingkat atas Laila mengoleksi berbagai benda ringan dan kecil ukurannya.
Laila memindahkan semua barang-barangnya itu ke rak yang sudah dia bersihkan. Ditatanya rapi benda itu. Tara..! sudah selesai. Rak itu makin cantik saja setelah dihiasi dengan kerajinan tangan karya Laila. Bahkan tambah cantik setelah disusun buku pada rak paling bawah. Laila sangat senang dengan buku, lihat lah rak paling bawah itu, sudah sesak sekali dengan buku-bukunya.
Sekarang dia tinggal latihan berbicara. Bagaimana caranya dia menarik perhatian para penonton? Itu lah pertanyaannya sekarang. Tentu di pentas nanti dia tidak lansung mempraktikkan bagaimana cara mensulap barang bekas menjadi benda yang indah mempesona. Tidak! Tentu saja dia perlu berbicara terlebih dahulu dengan penonton. Sesuatu yang membuat penonton akrab dan riang adalah bercanda. Ya! Bercanda itu selalu membawa kebahagiaan dan persahabatan. Dan ketika sedang menerangkan atau memparaktikkan sesuatu dia harus menyelipkan bumbu-bumbu candaan agar penampilannya menarik dan bagus.
“Tidak apa-apa kalau aku tidak menang, yang penting penonton bahagia.” Laila berkata dalam hati.
Laila mencari tempat yang sangat sepi. Jika dia berlatih di dalam kemah, dia akan malu dengan Haura. Jika berlatih di lapangan pasti nanti penampilannya akan ditiru oleh banyak orang dan dia juga akan malu. Laila memilih berlatih di belakang gedung papan. Untung-untung tak ada orang yang melihatnya.
Laila pun mulai berlatih dengan sungguh-sungguh. Tangannya sibuk bergerak, entah apa yang dilakukannya. Mulutnya komat-komit mengatakan sesuatu, suaranya kecil agar orang tidak mendengarnya.
~~~
Tak terasa hari mulai senja. Awan mulai dihiasi dengan cahaya oren kemerah-merahan. Oh, indah sekali pemandangan sore di tepi hutan. Laila mengehentikan latihannya dia harus mandi dan merebahkan badan. Jangan sampai tenaga habis hanya untuk latihan, bang Ghazali (abang sepupu Laila) pernah bilang begitu.
Laila pun kembali ke kemahnya. Dia melihat Haura sudah bersiap untuk mandi sore. Laila ikutan bersiap.
“Kamu itu kemana saja sih..?” Tanya Haura sembari berkacak pinggang. Handuk merahnya tergantung di pundak dan tangannya menenteng ember kecil yang berisi sabun, sampo, sikat, dan pasta gigi. Semuanya keperluan mandi.
“Latihan di belakan gedung papan.” Jawab Laila singkat. Dia memasukkan keperluan mandi ke ember kecil miliknya.
“Kok jauh amat latihannya?” Tanya Haura penasaran.
“Emm..” Laila mikir.
“Agar tidak dilihat orang.” Jawab Laila sambil menggantung handuk ke pundaknya.
“Ayo!” Laila mengamit tangan Haura, Haura mau saja.
Di jalan Haura mengabarkan sesuatu.
“Tadi kapten bilang kita sehabis makan lansung kumpul di lapangan. Itu wajib.”
“Habis makan malam?” Tanya Laila memastikan.
“Iya lah, nggak mungkin siang.” Jawab Haura sambil menatap Laila cemberut.
Laila hanya tertawa kecil.
Sehabis mandi, Laila dan Haura pergi ke dapur petualang. Mereka siap berprofesi menjadi chef.
“Sreng, sreng…” Itu suara kuali.
“Ting, ting…” Itu suara spatula.
“Srreg, srreg..” Itu suara bungkusan bumbu dapur.
“Tok, tok, ktok, ktok..” Itu suara gilingan cabe.
“Sraaarrrrr..” Itu suara minyak yang dimasuki bawang, ikan, daging, dan ayam.
“Tlup, tlup, tlup…” Itu suara air meletup.
Dapur bising dengan suara alat dan bahan-bahan dapur. Menyenangkan sekali berada didapur. Memasak bersama-sama. Makanan siap sajikan setelah matang.
Nyeamm… lezat.. Semua saling menikmati makanan sendiri. Sesekali mencicipi makanan kawan. Begitulah petualang setiap hari. Senaaang.. sekali. Mereka semua bagai satu keluarga.
Sehabis makan, mereka berkumpul di lapangan. Kapten memotivasi mereka agar semangat dan pantang menyerah. Di pentas nanti jangan malu-malu ya… begitu nasihat kapten Zoo.
Waktunya istirat. Bermain dalam mimpi. Bersiap untuk pentas hobi esok. Sebagian masih ingin menikmati bintang-bintang malam, curhat dengan bulan dan menghayal tentang hari esok.
Laila menatap langit malam dari dalam kemah, di pintu kemah terdapat jendela kecil yang ditutupi mantel bening. Melihat keluarga langit malam selalu membuatnya bahagia dan tertidur. Dalam hitungan detik, Laila lansung terlelap dalam mimpi.
Dia bermimpi. Berada di taman yang luas, di dalam taman itu terdapat sungai susu, sungai coklat, sungai madu, dan sungai yang airnya jernih nan manis. Di taman itu juga terdapat banyak jenis bunga, bunganya sungguh aneh dan tidak pernah ditemukan di dunia ini. Hewan-hewan di taman ini juga aneh. Ular berkaki, Kuda bersayap, ikan bersayap, unta laut, dan masih banyak lagi hewan-hewan yang aneh. Laila selalu mimpi itu, mimpi yang sudah biasa. Itulah sebabnya mengapa dia suka sekali dengan alam.
Mimpi Laila berbeda dengan Haura. Haura bermimpi berada di Istana. Istana di atas kolam, Lantainya terbuat dari kaca, dan dia menjadi putri di Istan itu. bla, bla, bla…
~~~
Petualang terbangun dari mimpi dengan semangat. Mandi, shalat, dan mencuci baju seperti biasa. Drama Nazira dan Syifa tetap ada seperti biasa. Tapi untung tidak sulit melerainya, apa lagi sampai memanggil anak laki-laki dan kapten.
Masak seperti biasa, dapur bising dengan suara kuali, spatula, dan bumbu-bumbu dapur. Eh, tapi sungguh menyenangkan. Lalu mereka makan masakan sendiri dan mencicipi sedikit masakan kawan.
Mereka pun keluar dari dapur setelah makan. Mereka baru sadar, pentas hobi sudah tersedia dengan kursi-kursi penonton yang banyak jumlahnya. Sepertinya kapten tidak hanya mengundang orang tua mereka.
Semua petualang masuk ke kemah masing-masing. Memakai baju yang bagusss… Haura memakai baju bewarna kuning. Laila? Oh.., Laila jangan ditanya lagi. Sudah jelas dia memakai baju pink, lambang indianya. Petualang keluar setelah mengganti baju. Lihat! mereka semua bagai anak-anak bangsawan. Tapi baju pink Laila emang selalu membuat orang iri hati.
“Cie.. Nazira mulai iri tuh dengan baju Laila..!” Yazid mulai memberi serangan, ah, dia pasti mau buat masalah lagi.
“Laila, kamu kok pakai baju itu terus, sih..?” Tanya Nazira dengan cemberut, Nazira benar-benar iri.
“Yee, baju itu kan emang cocok untuk dia, bukan untuk kamu..! Kamu pakai baju tentara saja.” Kata Yazid tertawa terbahak-bahak. Yang ditanya Laila malah dia yang menjawab.
“Aku nggak nanyak sama kamu..!!” Hardik Nazira lalu diam, emang lebih baik diam kan dari pada meladeni Yazid?
Yazid berkicau-kicau sendiri, dia terus memancing emosi Nazira. Tapi Nazira sudah bulat untuk tidak menjawab pertanyaan Yazid yang berbau jahil.
“Kalian ada barang untuk ditampilkan nanti?” Kapten memecah.
Sebagian mengangguk sebagian lagi menggeleng.
“Cepat bawa ke belakang pentas. Yang tidak punya barang cepat siapkan apa saja yang akan ditampilkan nati. Kalian semua segera berkumpul di belakang pentas.” Perintah kapten, lalu pergi meninggalkan petualang.
Petualang menyiapkan semua yang diperlukan untuk penampilan nanti. Laila membawa rak yang sudah disusuninya dengan buku dan kerajinan tangan. Dia mendorong rak itu hati-hati ke belakang pentas.
“Ehek..” suara kuda yang ditunggangi Nazira. Nazira bukan seperti seorang putri, apa lagi ratu. Dia lebih mirip dengan khastria. Tapi penampilannya membuat semua orang tercengang. Jika kudanya lewat, semua orang memberikan jalan. Yazid tidak berani membuat ulah, dia takut kepalanya nanti ditendang kuda. Sok-sok kamu Nazira!! Itulah yang dikatakannya dalam hati.
Ternyata benar! Bukan hanya orangtua mereka yang datang tapi juga bapak Walikota bersama istrinya dan ibu UPTD juga bapak UPTD. Semua ini membuat petualang grogi.
Kapten datang, entah apa lagi yang igin disampaikan.
“Kalian lansung masuk saja ke belakang tirai pentas.” Kata kapten Zoo.
Mereka pun masuk kebelakang tirai pentas lewat tangga yang ada di belakang pentas. Mereka disuruh kapten untuk menunggu di belakang tirai.
Tidak lama kemudian terdengar suara kapten membuka acara.
“Bapak-bapak ibu-ibu yang kami hormati. Terimakasih telah menghadiri undangan acara kami. Terimakasih juga kepada bapak walikota yang sudah datang ke pesta ini bersama istrinya (Semua tertawa, kapten emang pandai bergurau). Terima kasih kepada ibu UPTD yang lipstiknya aduh.. tebalnya (Semua tertawa). Dan kepada bapak UPTD Kami berterima kasih atas kedatangannya, semoga kami dapat makan gratis (Tawa semakin gemuruh). Ya, enggak lah. Makanannya dari kami nanti, makanan paling spesial sekali. Sampai-sampai bapak presiden pun tidak mau membeli, yaitu daun..! (Tawa semakin gemuruh). Kan benar, nggak mau bukan nggak bisa atau nggak telap. (Gurauan berakhir).
Jadi bapak-bapak ibu-ibu. Dengan acara ini kami ingin sekali kita semua menghargai kerja keras anak-anak. Kami sangat bangga dengan siswa-siswa sekolah Petualang yang berani, kuat, dan tangkas. Banyak sekali pengalaman mereka selama sekolah di sini. Dikejar singa dan membunuh singa. Ada juga kisah-kisah persahabatan mereka yang tidak bisa dilukis oleh pena.
Dan kini mereka akan menampilkan hobi mereka. Kepada bapak ibu kami sajikan waktu paling istimewa, yaitu menyaksikan penampilan hobi siswa sekolah petualang.” Begitulah berakhir pembawaan acara.
Kapten turun dari pentas. Mikkrofon segera di bawa turun. Petualang siap siaga menunggu nama mereka dipanggil.
“Aulia..!” Panggil letnan Hasan sembari masuk kedalam tirai lewat tangga belakang.
Semua petulang berbalik badan.
“Ada apa letnan?” Tanya Aulia bingung.
Di tangan letnan Hasa ada dua mik jepit.
“Kamu akan deluan dipanggil, jadi pakai mik ini sekarang.” Jawab letnan Hasan sambil memberikan mik jepit kepada Aulia.
Aulia pun memakai mik jepit itu di telinganya (Di dalam jilbabnya). Tepat sekali setelah dia memakai mik itu, namanya lansung dipanggil.
“Kita panggil ananda Aulia..! kepada Aulia, kami persilahkan.” Suara itu terdengar dari spiker.
Aulia keluar dari balik tirai sambil memukul kuali dengan spatulanya. Dia mendorong kuat meja beroda yang di atasnya ada kompor dan bahan-bahan makanan. Untung meja itu tidak jatuh dari pentas. Penonton menutup telinga karena suara kuali yang dipukul Aulia. Aulia pasti sudah merancanakan semua ini.
“Tuan-tuan dan puan-puan!!” Aulia membuka acara.
“Nona-nona yang tidak berlipstik, saya akan menjadikan mulut anda merah seperti berlipstik!” Aulia memulai acaranya.
“Bagaimana caranya?” Aulia pura-pura bertanya.
“Dengan memasak..!!” Yang bertanya malah menjawab pertanyaan sendiri.
“Saya akan memperlihatkan cara membuat mie api dengan cepat..!!” Teriak Aulia sembari meletakkan kualinya di atas kompor.
“Pertama tuangkan minyak, lalu masukkan bawang putih dan bawang merah yang sudah di iris…..” Begitulah seterusnya Aulia menerangkan hingga selesai.
“Amaroh, cepat pakai ini.” Kata letnan Hasan sembari memberikan mik jepit kepada Amaroh.
Amaroh pun memakainya. Sebentar lagi Aulia akan selesai menampilkan hobinya.
“Nah, ini mi apinya sudah saya sajikan, ada yang mau makan?” Tanya Aulia sambil mengangkat piring berisi mi yang sudah dicampur dengan cabe rawit tanpa tomat sedikit pun.
Tidak ada yang mau memakan mi buatan Aulia, tampaknya terlalu pedas. Bukan hanya mulut yang pedas, mereka pun nanti akan bolak-balik kamar mandi.
Aulia jadi salah tingkah, tidak ada yang mau mencoba mi buatannya. Padahal mi itu tidak pedas (menurut versinya). Aulia pun duduk di kursi. Lalu dia memakan mi itu. Dia tidak kepedasan sama sekali, apalagi sampai mulut menjadi merah dan bolak-balik kamar mandi. Bah, mantap kali anak ini, mungkin begitu maksud ekspresi wajah kagum penonton.
Aulia selesai menampilkan hobinya. Dan satu persatu menampilkan hobi masing-masing dengan baik. Nazira yang paling bagus penampilannya walau tidak ada kata-kata pembuka. Tapi akrobatnya bersama kuda sungguh mengagumkan. Jamping, melompat, menendang benda, dan masih banyak akrobat lainnya.
Laila orang terakhir yang dipanggil untuk menampilkan hobi. Orang yang terakhir tampil belum tentu kan berhasil. Penonton sudah hilang semangat, sungguh membosankan dengan hanya menonton penampilan anak-anak kecil yang tidak pandai mebawa acara.
Laila mendorong lembut dan hati-hati raknya. Semua mata tertuju padanya. Bukan karena penampilan Laila, tapi karena bajunya yang membuat Laila lebih mirip dengan orang India.
“Ayah bunda…, enak nggak, makan?” Laila membuka acara, suaranya lembuuut bagaikan sutra.
“Enak..!” penonton membalas dengan lembut.
Laila tersenyum.
“Makanan dan minuman yang berkemasan lebih enak kan..? tapi tidak akan membuat kita berisi. Makanya jangan sering-sering makan jajan..!” Kata Laila.
“Eh, kan nggak enak juga jadi roti, ya kan?” Tanya Laila lagi.
Semua mengangguk tersenyum.
“Aduh.., masa ayah ama bunda lebih suka jadi lidi daripada jadi roti. Ayah bunda suka roti apa lidi nih..?” Tanya Laila mulai bergurau.
“Lidi..!!” Jawab penonton serempak.
“Berarti ayah bunda nanti makan lidi aja, nggak usah makan roti.” Kata Laila tertawa kecil. Semua penonton tertawa.
“Ayah bunda…, Makanan dan minuman yang berkemasan emang enak. Perhiasan itu emang cantik. Tapi, uang itu tidak mudah didapat. Tahu nggak ayah bunda sekalian, Indonesia termasuk negara dengan sampah terbanyak di dunia. Tapi bukan Indonesia saja yang membuat sampah jadi banyak. Negara-negara lain juga begitu, sama kita semua. Bahkan sampah dari dunia sampai keluar angkasa. Yaitu sampah-sampah astronot.
Ayah bunda, dari pada kita membuang sampah dan mengorek kocek untuk membeli hiasan rumah, mending kita buat sesuatu yang dapat menghasilkan uang. Dengan modal sampah, kita bisa menghasilkan uang hingga ratusan.” Terang Laila sembari menatap penonton satu persatu.
Penonton mangguk-mangguk kagum. Antusias ingin tahu bagaimana cara berbisnis dengan modal sampah.
“Dan dengan sampah botol plastik, rumah ayah bunda akan cantiiik sekali. Ini benar loh ayah bunda.” Kata Laila tersenyum. Penonton ikutan tersenyum, sebagian penonton sudah tak sabar menunggu cara membuat hiasan rumah dari botol bekas.
“Sekarang saya akan ajarkan ayah bunda sekalian cara membuat pot bunga cantik dari botol plastik dan bunga dari pipet.” Laila memulai penampilan utamanya.
“Ini botol bekas dan pipet bekas yang sudah saya bersihkan.” Kata Laila sembari memperlihatkan botol bekas yang bersih dan pipet yang bersih juga. Laila mengangkat kedua benda tersebut tinggi-tinggi agar semua orang dapat melihatnya.
“Jika di rumah ayah bunda tidak ada botol dan pipet bekas, cari lah di luar rumah. Jangan beli sama pemulung, nanti yang untung pemulung bukan ayah ama bunda (Penonton mulai tertawa, ini lah siasat Laila). Tapi kalau ambil di tong sampah, entar nanti ayah bunda dibilang pemulung lagi (Penonton tertawa kencang). Lah, jadi ambil dimana? Gampang ayah.. bunda.. orang Indonesia ini walau sudah sekolah setinggi mungkin, masih juga seperti anak kecil (Penonton mangguk-mangguk). Lebih lagi orang dewasa, sekolahnya udah tinggi tapi kelakuannya masih macam anak kecik (Terlihat wajah tidak senang pada diri penonton). Benar loh ayah bunda. Dibilang jangan buang sampah sembarangan, tapi masih juga buang sampahnya sembarangan (Penonton mulai sadar). Ini fakta loh.
Jadi, ayah sama bunda bisa dapat botol bekas dan pipet bekas di taman, jalanan, dan di tepi sungai pun juga ada. Jadi ayah bunda bukan hanya membuat hiasan rumah nanti, tapi juga menyelamatkan bumi dan makhluk hidup.” Jelas Laila panjang.
Laila melanjutkan lagi. “setelah mendapatkan botol dan pipet bekas, ayah bunda lansung bersihkan. Jangan sampai kumannya menyebar. Kalau nggak dibersihkan segera, itu artinya ayah bunda nggak sayang anak (Penonton tertawa kecil). Setelah dibersihkan, botolnya dibelah dua. Terserah mau pakai apa aja, asalkan tidak pakai parang. Karena ayah bunda bukan membelah kayu (Penonton makin tertawa).
Nah, setelah itu botolnya dicat. Terserah mau pakai cat apa. Tapi jangan pula pakai cat rambut (Penonton kembali tertawa). Nah bagian atas botol diisi dengan batu. Lalu tempelkan ke botol bagian bawah. Lemnya pakai lem setan, hati-hati mengelemnya. Nati kalau lemnya kena tangan kita jadi setan (penonton tertawa).
Rangkai lah pipet menjadi bunga, lalu tempelkan ke pipet yang belum dirangkai. Sekarang cat pipetnya. Nah, bunganya sudah jadi. Masukkan bunganya ke dalam batu-batu.” Terang Laila lebar.
Tara..! sudah jadi..!! bagaimana? Mudah kan?” Tanya Laila sembari berseri-seri. Sebentar lagi penampilannya selesai.
Semua mengangguk.
“Ayah bunda, Laila sudah capek nih… Giliran ayah bunda yang membuatnya.” Lanjut Laila.
“Ada yang punya pertanyaan?” Tanya Laila menatap penonton satu persatu.
Seorang ibu-ibu dengan baju batik mengangkat tangan.
“Itu rak apa?” Tanya ibu itu.
Laila sadar. Oya! Ada yang kelupaan.
“Ini adalah rak yang berisi koleksi-koleksi saya. Bagian atas saya gantung dengan nama-nama saya, saya buat sendiri. Bagian bawahnya adalah kerajinan tangan karya saya sendiri, salah satunya ada yang saya jual. Di bawah rak itu adalah tempat gantungan, saya gantung dengan perhiasan berupa gelang, cincin, dan kalung kreasi saya sendiri. Bagian paling bawah adalah koleksi buku-buku saya, tapi bukan saya yang menulis buku.” Jelas Laila sembari menunjuk-nunjuk raknya.
Laila pun selesai menampilkan hobinya. Saatnya pengumuman pemenang pentas hobi. Siapakah yang memenangkan pentas hobi ini? Itulah sekarang pertanyaannya. Ini sungguh membuat jantung petualang berdebar.
“Setelah siswa-siswa sekolah petualang usai menampilkan hobi masing-masing, kami mengucapkan terimakasih kepada semuanya. Terimakasih kepada penonton sudah menghadiri acara ini hingga selesai dan terimakasih juga kepada ananda ekalian karena telah menampilkan hobi masing-masing dengan baik.” Kata kapten.
“Sekarang, seperti janji saya. Saya akan menghadiahkan medali kepada ananda yang bagus sekali penampilannya. Medali ini jatuh kepada…” Kapten menatap penonton satu persatu, di tangannya terdapat medali emas yang berkilau.
“Laila..!!!” Seru kapten setengah berteriak.
Perasaan Laila bahagiaaa sekali.
“Mantap kamu Laila..!!” Haura dan yang lainnya bahagia sekali.
Laila tidak pernah menginginkan hadiah itu. yang diinginkannya penonton bahagia. Dia tidak menyangka akan mendapatkan hadiah itu.
“Kepada ananda Laila kami persilahkan maju kedepan untuk menerima medali emas.” Panggil kapten Zoo.
Laila pun keluar dari balik tirai. Sang kapten mengalungkan medali itu sambil difoto-foto banyak orang.
“Dan kepada siswa sekolah Petualang kami persilahkan maju kedepan untuk menerima hadiah penghargaan dan berfoto dengan putri kita.” Kata kapten.
Petualang sekolah dari balik tirai. Mereka semua menerima hadiah sebagai penghargaan dari kapten. Lalu berfoto dengan wajah tersenyum manis bersama Laila. Foto kedua bersama keluarga besar sekolah petualang. Foto ketiga bersama bapak walikota dan istrinya, juga bapak dan ibu UPTD.
Laila yang tidak berharap menang dan hadiah ternyata memenangkan pentas hobi ini. Perkiraan petualang salah, Nazira yang menang. Tapi, Laila lah yang menang. Karena penampilan dan cara Laila membawa acara sungguh mengagumkan.

Tugas 2- Nada

Petunjuk cerita: Gunung
Petunjuk gambar: Merah,Kuning, Gunung, Sepeda

Judul: Teman Baru
Nama Penulis: Nada Khalishah
Tema/Genre: Petualang

Sampul Depan

Sampul Belakang

Punggung Sampul

Cerita:

TEMAN BARU

Chiki ingin sekali pergi ke pegunungan karena seumur hidupnya ia belum pernah ke gunung. Ibunya saja baru dua kali ke gunung ketika mencari Chiki Dan Chiko hilang. Kalau Chiko bukan ingin ke gunung. Tapi, dia hanya ingin ikutan karena bosan di rumah. Wah, jangan sampai ibu kalian kehilangan lagi ya.
Sorepun tiba, matahari sudah mendingin. Chiki meminta izin kepada ibunya (Tiwi). Tiwipun mengizinkannya dengan syarat tidak berlama lama disana.
Mereka pun segera pergi berjalan menuju gunung. Ketika sedang melewati semak-semak, Chiko melihat sebuah bunga yang indah. Diapun segera melompat melewati semak semak itu. Tapi, tiba-tiba kaki Chiko tersangkut tali disebuah kayu yang merebah diatas tanah. Chiko langsung meminta tolong,
“Chiki… ”
Chiki berbalik badan dan langsung mematuk tali dengan susah payah bercampur panik. Tiba-tiba tampak dari jauh seekor ular yang ingin memangsa mereka.

“ulaaarr….!” teriak Chiki.

Chiki bertambah panik. Ia mengaiskan kaki berusaha lari. Akhinya terputuslah tali itu. Dan mereka segera terbang. “Chiko,ternyata ular lebih jahat dari monyet” Kata Chiki tampak kelelahah. “iya Chiki”jawab Chiko mengangguk.

Sesampai dipegunungan, mereka sangat kelelahan dan kehausan. Tampak dari jauh ada sebuah bendungan. Mereka segera meminum Air dari Bendungan Itu.Setelah haus mereka hilang, mereka pun mulai bermain lagi. Namun ketika sedang asyik bermain, Chiko tak sengaja mendorong Chiki ke bendungan.
Chiki teriak meminta tolong.
“Chiko…!Tolong…!Tolong..!”Teriak Chiki.
Chiko kehilangan akal mondar mandir di pinggir bendungan. Dia juga ikut teriak minta tolong. Teriakannya terdengar oleh seekor anak kucing mungil.
Dia (Anak kucing) itu langsung mencari sumber suara itu, ternyata di sebuah bendungan.
“Wah…ada anak kucing yang mungil.” Kata Chiko melupakan Chiki sebentar.
Kucing itu segera menolong Chiki dengan melemparkan ranting panjang. Chikipun segera menitinya.
Chiki Dan Chiko mengucapkan Terimakasih kepada Anak kucing itu.
Mereka pun berkenalan

“Terimakasih, namamu siapa anak kucing?” tanyak Chiki dan Chiko.
“Sama-sama, namaku Nomi, nama kalian siapa?”Anak kucing itu balik bertanya.
“Aku Chiki” kata Chiki.
“Aku Chiko”kata Chiko
“wah…kamu bukan hanya anak kucing yang mungil, tapi juga teman yang baik.” Puji Chiki.

“ Terimakasih, bagaimana kalian bisa sampai disini? Aku saja tinggal disini enggak boleh sering-sering kesini oleh mamaku.” tanyak Nomi.
“kami baru tiga hari tinggal disini, Chiki meminta izin keibu kami.Dan ibu kami mengizinkan Chiki.” jelas Chiko.
“kalian tinggal dimana?”tanya Nomi lagi.
“Dilereng gunung ini” jawab Chiki

Mereka pun bermain dengan gembira.
Chiki Dan Chiko bahagia sekali mendapatkan teman yang baik hati seperti momi.

Setelah cukup lama bermain, langit pun menggelap,Nomi mengingatkan mereka untuk segera pulang.
“langit sudah hampir gelap Aku harus pulang kehutan Bunga.”ucap Nomi.
Mereka pun pulang kehutan masing-masing.

Hari ini adalah hari berkenalan bagi Chiki Dan Chiko.
Mereka baru mendapatkan hikmah ketika sudah pindah, bahwa ada teman yang baik hati yaitu seekor anak kucing. Sangat berbeda jauh dari seekor monyet yang sangat jahat ketika di tempat yang lama.

Tugas 2- Jaihan

Petunjuk cerita: Gunung
Petunjuk gambar: Merah,Kuning, Gunung

Judul: Kejaran Sang Raja
Nama Penulis: Dzakiyyah Jaihan
Tema/Genre: Petualang

Sampul Depan

Sampul Belakang

Punggung Buku

Cerita:

Kejaran sang Raja
Niiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitt…….
Suara bising dari pengeras suara itu takkan berhenti sebelum semua petualang bangun. Suara itu selalu terdengar sepuluh menit sebelum subuh.
Petualang bangun dengan rasa jengkel.
“Uh.., kenapa sih harus bangun cepat banget? Padahal aku masih ngantuk.” Ana berkata dengan wajah cemberut.
Petualang segera ke kamar mandi. Perempuan ke kamar mandi perempuan dan laki-laki ke kamar mandi laki-laki.
Byurr…
Siraman air dari Aulia mengenai semua petualang.
“Aulia..!” Laila mengaduh sembari melihat bajunya yang basah kuyup.
“Kenapa?” Aulia pura-pura bertanya.
“Ih.., kamu kan sudah lihat bajunya Laila basah kuyup!” Enisya berucap sinis.
“Hehehe, aku kan cuman mau bermain.” Kata Aulia, dia menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
Yang lain hanya diam-diam saja. Buat apa ribut-ribut?
~~~
Usai mandi dan mengganti baju, mereka shalat berjamaah di mushalla. Jenderal Yuli selalu mengawasi petualang yang shalat.
Selesai shalat, apa lagi pekerjaan mereka?. Mencuci baju yang kotor.
“Uh.., Banyak sekali baju kotorku.” Keluh Syifa.
Sebenarnya baju kotornya sedikit, tapi dia selalu menunda-nunda mencuci baju. Lihat sekarang akibatnya, cuciannya sungguh banyak.
“Aku cuci bajunya besok sajalah.” Syifa bergumam.
“Besok sampai kapan? Tunggu cucianmu setinggi gunung?” Tanya Nazira yang sudah kesal dengan ucapan ‘besok’ milik Syifa.
Melihat wajah Nazira yang sudah memerah karena marah, Syifa terpaksa mencuci bajunya dengan setengah hati.
Semua hanya tertawa kecil melihat drama Syifa dan Nazira.
“Nazira mirip emak-emak loh.” Bisik Aulia ke yang lain.
“Ssstt, sasaran selanjutnya kamu.” Kata Ana sambil ngikik.
“Eh, enak saja.” Jawab Aulia, keningnya mengerut.
“Sudah, selesaikan saja cucian kalian.” Ada yang melerai perkelahian, ternyata Nazira.
Semua lansung diam seribu bahasa. Sejak kapan Nazira mendengar percakapan mereka? Entahlah.
~~~
Sasaran selanjutnya Dapur petualang. Di sini para petualang saling rebutan daging, saling rebutan bumbu penyedap, saling rebut cabe, semua direbut. Disini mereka akan menjadi Chef.
Freezer dibuka.
Jreng, jreng, jreng..
Ternyata tak ada persediaan daging, ikan dan ayam.
“Kapten..!” Semua mengejar kapten yang sedang lari kecil.
Kapten Zoo berbalik badan.
“Apa?” Tanya kapten Zoo.
“Persediaan daging habis kapten..!” lapor mereka.
“Kalian buru lah.” Kata kapten.
“Buru?” Tanya mereka heran.
“Buru rusa, buru rusa.” Bira memberi ide.
“Kalian tampaknya sudah memberikan pikiran cerdas kalian keseekor burung Beo.” Kata kapten tertawa.
“Maksud kapten kami berburu hewan di hutan?” Tanya Asad.
“Jika kalian ingin makan.” Jawab kapten Zoo cuek.
Semua saling pandang. Mengapa tugas berburu mendadak begini?
“Begini saja, anggap pemburuan kalian ini jalan-jalan dan petualang.” Kata kapten Zoo.
Semua masih terdiam.
“Kan petualang harus berani. Nanti anak laki-laki diberi parang dan panah. Anak perempuan diberi pisau.” Lanjut kapten Zoo.
“Yee..” seru petualang.
“Tapi senjata itu digunakan ketika dalam bahaya saja. Oke..?” Tanya kapten Zoo.
“Oke…” Jawab petualang serempak.
Petualang diberi senjata satu persatu.
“Omar..!” Panggil Asad.
Omar menghadap ke arah Asad.
“Sinnnngs.” Asad menirukan suara pedang dengan sedikit bergaya.
“Hahaha.., itu kan parang bukan pedang.” Ledek Omar.
“Tapi ini kan Asli, bukan mainan seperti dulu aku bertarung denganmu.” Kata Asad.
“Eh, kamu mau bunuh aku?” Tanya Omar.
“Nggak, cuman mau bergaya dikit aja.” Jawab Asad.
“Sudah.” Ikrimah melerai perkelahian.
Mereka pun maju dan masuk ke dalam hutan untuk berburu.
Di dalam hutan terjadi obrolan cukup panjang.
“Aku nanti ingin berburu rusa, ah..” Kata Syafiq.
“Iya, tapi kamu cuman bisa anaknya saja.” Kata Thariq.
“Kenapa?” Tanya Syafiq.
“Karena kamu larinya lambat.” Ledek Thariq, Harun dan Amer.
“Eh, emang kamu larinya cepat?” Tanya Thalha.
“Mereka saja jalannya macam kura-kura.” Kata Yazid.
“Lebih lebih lagi kamu yazid, macam siput.” Harun membalas Yazid.
“Kalau aku jalannya seperti siput, sekarang ini aku baru masuk hutan.” Yazid mulai marah.
“Sudah, jangan berkelahi.” Laila mencoba melerai perkelahian.
“Anak perempuan jangan ikut campur!” Bentak Khalid.
“Heh! Dia cuman melerai!” Teriak Aulia.
“Kamu perempuan, jangan sok jago!” Thariq balas teriak.
Thalha memberi isyarat mata agar Aulia diam saja. Tapi Aulia tak mengerti dan malah marah.
“Kamu apaan sih, dek?” (Aulia dan Thalha memang bersaudara)
“Perempuan pergi masak saja sana..!” Teriak Syafiq.
“Masak pakai apa? Pakai batu? Hah?” Nazira berteriak marah.
“Ngomongnya aneh-aneh saja.” Lanjut Nazira.
Semua diam tak berkutik. Sudah jelas Nazira lah yang paling garang diantara mereka.
“Heh, emak-emak!” Teriak Khalid.
“Apa?” Hardik Nazira.
“Bagaimana jika kalian lomba lari? Agar kita tahu siapa yang jalannya seperti siput.” Omar mengadili.
“Oke!” Nazira dan Aulia menerima tantangan.
“Bukan kalian, cuman anak laki-laki.” Kata Omar.
“Oke!” Kata Syafiq.
“Kalian semua setuju kan?” Tanya Syafiq.
Harun, Amer, Yazid, Thalha, Khalid dan Thariq diam. Mereka tak memberikan jawaban.
“Oh, berarti kalian yang sebenarnya macam siput.” Kata Syafiq.
“Eh.., kami setuju.” Harun, Yazid, Amer, Thalha, Khalid dan Thariq memegang lengan Syafiq.
“Nah, Finish nya sampai semak-semak itu.” Kata Asad sembari menunjuk ke semak-semak.
“Alah, dekat.” Yazid menganggap enteng.
Mereka pun memulai lomba. Dalam hitungan satu, dua, ti…ga.
Dalam hitungan detik, tampak Syafiq hampir mendekati geris Finish. Tapi, anehnya sampai di semak-semak dia berbalik ke blakang dengan sangat cepat. Begitu pula dengan yang lainnya. Bira pun terlihat aneh, dia bersembunyi dibelakang Laila.
Syafiq, Harun, Thariq, Yazid, Thalha, Khalid dan Amer tiba di depan petualang.
“Ada apa?” Tanya Asad.
“A, A..” Khalid tak bisa menjawab nafasnya sesak, dia tumbang dan hampir pingsan.
“Ikrimah, berikan air yang kau bawa.” Kata Omar sembari menyanggah tubuh Khalid, Asad juga ikut meyanggah.
Omar dan Asad menyandarkan dan mendudukkan Khalid disebuah pohon besar. Lalu mereka memberi minum Khalid.
“Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa sampai seperti ini?” Tanya Ikrimah.
“Ada.., Singa..” Jawab Syafiq dengan nafas terengah-engah, dia bersandar di pohon, begitu pula yang lain.
“Nih, minum.” Kata Asad sembari memberikan botol air minum.
Semua wajah petualang tampak pucat.
“Tenangkan diri kalian.” Kata Omar.
“Apa setelah ini kita akan melanjutkan pemburuan?” Tanya Laila.
“Ya.” Jawab Asad.
“Bagaimana caranya?” Tanya Nazira.
“Dengan mengendap-ngendap.” Jawab Omar.
“Tapi apakah dia tak mencium bau kita?” Tanya Amaroh.
“Semoga saja singa itu tak mencium.” Jawab Ikrimah.
Setelah semua tenang dan detak jantung juga nafas Khalid kembali normal, mereka pun melanjutkan perjalan. Mereka berjalan dengan mengendap-endap.
Tiba-tiba…
Arrrgg….
Semua terdiam, tak berani melihat kebelakang. Bira kembali bersembunyi, tapi kini dia bersembunyi didepan Laila. Hati petualang gelisah. Jantung mereka mengeluarkan suara dag, dig, dug. Semakin kencang.
Mereka semua mencoba berbalik badan. Raja hutan! Dagunya ditetesi air liur, wajahnya tampak menyeramkan. Taringnya siap merobek daging siapa saja tanpa ampun.
Wajah petualang pucat pasi. Dalam hitungan satu, dua, tiga.
Arrrgg…
Terkaman singa kuning itu meleset. Semua petualang lari sekuat tenaga. Laila melihat tempat yang tertutup dan bersembunyi. Dia menarik tangan Haura dan membawanya keluar dari barisan petualang. Lari sejauh lima hingga delapan meter dari barisan.
“Tunggu!” Haura menahan pelariannya. Laila ikut berhenti.
“Ada apa?” Tanya Laila.
“Kita keluar dari barisan.” Jawab Haura.
“Benar..! kenapa aku bisa lupa? Ya Allah, tolonglah kami..” Laila berkata lirih.
“Tenangkan dulu diri mu, lihat di depan kita ada pemandangan gunung.” Haura mencoba untuk menenenangkan Laila.
Laila membentangkan tangannya. Dia mencoba tenang dengan menghirup udara segar di hutan.
“Mungkin teman kita sudah diterkam singa.” Wajah Laila tampak sedih.
“Jangan berkata seperti itu, doakan yang baik-baik saja. Semoga mereka selamat.” Kata Haura ikut membentangkan tangan.
“Amin.” Laila mengaminkan.
Laila dan Haura berada disana cukup lama, karena mereka sama sekali tak tahu jalan pulang.
“Hah, udara di sini segar sekali.” Kata Laila memejamkan mata.
“Kau ingin cuci mata disini?” Tanya Haura, dia ikut membentangkan tangan.
“Cuci mata alami. Orang kan biasanya banyak cuci mata di Mall.” Jawab Laila tersenyum-senyum.
~~~
Cukup lama mereka di tempat itu. hingga perut mereka terasa keroncongan sekali.
“Fuhh.. Aku lapar.” Keluh Haura.
“Sama.” Kata Laila sambil mengambil batu yang cukup besar.
“Mau kamu apakan batu itu?” Haura bertanya, heran sekaligus penasaran dengan jawaban Laila.
“Mau ku ikatkan di perut.” Jawab Laila sembari membolak-balikkan batu yang dipegangnya.
Haura tertawa geli mendengar jawabannya.
“Laila…, Laila. Nggak usah sampai seperti itu.”
“Ya, dari pada…” Perkataan Laila terputus manakala mendengar suara teriakan.
“Laila…!!” Sekelompok orang berteriak sembari melambaikan tangan.
Laila dan Haura balik melambaikan tangan. Ternyata mereka adalah petualang!
“Ku kira kalian telah diterkam oleh singa tadi.” Kata Laila.
“Hahaha, tadi terjadi pertarungan seru..! Singa lawan Singa.” Kata Yazid.
“Singa lawan singa!” Haura berseru kaget.
“itu belum lengkap kata-katanya. Singa hutan lawan Singa petualang.” Kata Ikrimah.
“Singa petualang?” Haura bingung.
“Ah.., sudah. Nanti saja ceritanya di hadapan kapten.” Asad melerai pembicaraan mereka.
Mereka pun kembali ke sekolah petualang. Hasil buruan mereka hari ini adalah tiga ekor rusa yang besar-besar. Buruan itu tak tahu juga dari mana asalnya.
Ketika tiba di sekolah petualang, terbuka lah ceritanya. Singa itu terbunuh di tangan Asad. Asad artinya Singa, dia berhasil membunuh singa yang hampir membuat para petualang mati. Tak disangka juga, Syafiq telah memburu tiga ekor rusa yang menjadi buruan petualang pagi ini. Syafiq telah membuat teman-temannya malu. Karena mereka telah mengejek Syafiq yang berbadan kecil tapi cabe rawit.